Bakteri untuk Anak Negeri…

- Editor

Selasa, 28 Oktober 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bakteri bagi sebagian orang mungkin dianggap parasit yang merugikan tubuh. Namun, tidak demikian halnya dengan bakteri jenis ini, yaitu bakteri fotosintesis.

Bakteri ini adalah bakteri penangkap cahaya infra merah yang bisa memprosesnya menjadi energi. Selain bermanfaat untuk energi terbarukan seperti bahan bakar, bakteri ini juga bisa membantu mengatasi persoalan pangan dan kesehatan masyarakat.

Jenis bakteri fotosintesis ini disimpan dan dikembangkan di laboratorium Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments (MRCPP). Ada sembilan peneliti di MRCPP tersebut yang secara berkelanjutan mengumpulkan, mengidentifikasi, dan memanfaatkan bakteri fotosintesis untuk kepentingan pangan dan kesehatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hingga saat ini ada 10 jenis bakteri fotosintesis yang berhasil dikumpulkan, seperti bakteri Rhodopseudomonas polustris yang bisa ditemukan di tanah sawah dan hutan berwarna kemerahan atau ungu, atau bakteri Rhodobium marinum yaitu bakteri yang ditemukan di kedalaman laut Wakatobi.

”Masih ada 4 bakteri lagi yang belum berhasil kami identifiksi. Proses identifikasinya tidak mudah karena bisa memakan waktu hingga 2 tahun untuk mengidentifikasi jenis bakteri tersebut sejak pertama kali kita menemukannya,” ujar Tatas Hardo Panintingjati Brotosudarmo, Kepala MRCPP.

Tatas menjelaskan bahwa ada tiga garis besar manfaat bakteri fotosintesis yaitu pertama, bisa diambil pigmen alaminya berupa karotenoid dan klorofil untuk menghasilkan pewarna alami makanan atau bahan kosmetika. Kedua, bisa menjadi bahan antioksidan. Ketiga, bisa digunakan untuk energi terbarukan seperti solar sel.

Bank Bakteri FotosintesisMenurut Tatas, bakteri ini bisa menjadi bahan pewarna karena memiliki pigmen warna warni indah yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya seperti warna biru muda, merah, atau coklat. Dan tentu saja, pewarna alami yang dihasilkan bakteri ini jauh lebih aman bagi tubuh dibandingkan dengan pewarna sintetis berbahan kimia.

Antioksidan
Bakteri fotosintesis tersebut juga mengandung pigmen antioksidan seperti pigmen astasantin yang didapat dalam udang atau ikan salmon. Pigmen ini merupakan antioksidan bagi tubuh karena khasiatnya 1.000 kali lebih bagus dibandingkan vitamin C dan E.

Bisa menjadi sumber energi terbarukan seperti halnya dilakukan oleh Photosynthetic Antenna Research Centre (PARC), sebuah konsorsium yang mendapat dukungan departemen energi Amerika Serikat. Di sini, karena Tatas juga menjadi bagian konsorsium tersebut, mereka sudah mengarah pada memisahkan hidrogen sebagai hasil fotosintesis bakteri. Zat hidrogen inilah yang akan menjadi dasar energi terbarukan seperti bahan bakar.

”Hingga kini teknologi kita memang masih terbatas pada pemanfaatkan di bidang pangan dan kesehatan. Target kami lima tahun ke depan juga memaksimalkan manfaat bakteri ini untuk mendukung pemberantasan kekurangan vitamin A dan zat besi, serta untuk menghasilkan pewarna alami pengganti sintesis,” ujar peneliti yang sejak 1998 sudah mengumpulkan bakteri fotosintesis tersebut.

Saat ini, MRCPP telah bekerja sama dengan sejumlah lembaga, seperti BPPT, Kementerian Riset dan Teknologi, serta sejumlah industri untuk mewujudkan produk bermanfaat terkait pemanfaatan vitamin A, betakarotin, dan zat besi yang diperoleh dari pigmen bakteri tadi. ”Semoga dengan temuan ini kami bisa membantu mengatasi kasus kekurangan zat besi dan vitamin A di Indonesia,” kata Tatas.

Selain pigmen dari bakteri, MRCPP juga meneliti pigmen rumput laut coklat yang banyak ditemukan di perairan Madura. Rektor Universitas Ma Chung, Leenawaty Limantara, mengatakan bahwa Ma Chung sudah menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengembangkan pigmen rumput laut coklat tersebut.

”Potensi rumput laut di Indonesia terbesar ketiga setelah Tiongkok dan Filipina. Sayang jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Seperti rumput laut coklat yang banyak ditemukan di perairan Madura, pigmennya bisa menjadi bahan baku kosmetik. Padahal orang di sana menganggap rumput laut coklat ini tidak ada harganya. Dan, Indonesia memiliki aneka ragam rumput laut. Kalau bisa diteliti seluruh pigmennya dengan baik, mungkin banyak manfaat bisa kita temukan,” ujar Leenawaty.

Selama ini rumput laut dijual oleh petani Rp 50.000 per kilogram (kg). Padahal jika sudah diolah, harga pigmen rumput laut coklat bisa mencapai 5.000 dollar AS per gram.

Melihat potensi itu, Pemprov Jatim bertekad menjadikan Jawa Timur menjadi sentra industri pigmen rumput laut. Mereka menggandeng Ma Chung yang sudah memiliki pengalaman di bidang pigmen.(Dahlia Irawati)

Sumber: Kompas, 28 Oktober 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 17 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB