Avivah Yamani; Menebar ”Virus” Astronomi

- Editor

Senin, 7 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Avivah Yamani

Kompas/Tatang Mulyana Sinaga (TAM)
04-03-2016

Avivah Yamani Kompas/Tatang Mulyana Sinaga (TAM) 04-03-2016

Gerhana Matahari Total 2016
Sebagai seorang astronom, Avivah Yamani (36) tak puas hanya mengamati dan menikmati fenomena benda-benda langit. Dia ingin keindahan itu juga dirasakan dan dimengerti oleh khalayak umum. Untuk itu, dia bersemangat berbagi ilmu.

Avivah menjadikan gerhana matahari total (GMT) yang terlihat di Indonesia pada 9 Maret 2016 sebagai momentum untuk membumikan ilmu astronomi. Sejumlah rencana telah disusun jauh-jauh hari agar pada GMT nanti ia tak hanya menyaksikan keindahan saat matahari tertutup bayangan bulan. Apalagi, gerhana matahari kali ini merupakan yang pertama bagi perempuan yang akrab disapa Vivi itu.

Meski bukan yang kali pertama terjadi di Indonesia, GMT kali ini tetaplah terasa istimewa karena disambut positif oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini berbeda dengan gerhana pada tahun 1983 yang dipandang sebagai peristiwa yang menakutkan, bahkan pemerintah melarang masyarakat menyaksikannya. Saat itu, sebagian besar warga mengurung diri di rumah sehingga melewatkan fenomena alam yang mengagumkan itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Vivi melihat ada peluang untuk membangun pandangan rasional masyarakat mengenai fenomena gerhana matahari total kali ini. Itu semacam kelanjutan dari usahanya mengenalkan dunia astronomi kepada anak-anak sekolah sejak di taman kanak-kanak. Perempuan ini aktif sebagai astronom komunikator di Langit Selatan, komunitas yang dibentuk sebagai media komunikasi dan edukasi tentang astronomi.

Setelah mempertimbangkan berbagai faktor, Vivi dan tim Langit Selatan memutuskan untuk mengamati GMT di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara. Faktor cuaca dan ketinggian matahari menjadi pertimbangan utama agar proses pengamatan gerhana lebih leluasa.

”Di daerah timur, gerhana akan dimulai sekitar pukul 08.20 pagi. Itu artinya, matahari sudah cukup tinggi sehingga cukup mudah untuk dilihat. Selain itu, pada awal Maret, di sana (Maba) juga diprediksi belum memasuki puncak musim hujan,” ujar Vivi saat ditemui di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (29/2).

Persiapan mengamati gerhana di Maba sudah dilakukan sejak tahun 2015. Pada April 2015, timnya telah melakukan survei lokasi di Maba sembari mempromosikan GMT 2016 ke sejumlah pihak. Di Maba, Vivi dan timnya akan bekerja sama dengan SMK Negeri 1 Maba yang berbasis informatika. Di sana mereka akan memberikan pemahaman mengenai peristiwa langka itu kepada siswa, guru, dan masyarakat sekitar.

”Kalau untuk pengamatan, warga boleh ikut. Tetapi, untuk edukasi, akan difokuskan pada guru dan murid. Sekalian kami akan memperkenalkan ilmu astronomi lewat gerhana,” ujarnya.

Vivi dan timnya akan membawa sejumlah kacamata gerhana untuk dibagikan kepada guru, siswa, dan warga di Maba. Mereka akan mengajarkan bagaimana mengamati GMT menggunakan pinhole projection. Cara ini lebih mudah karena peralatannya dapat dibuat dengan bahan-bahan sederhana.

Selain itu, siswa juga akan dikenalkan dengan teleskop mini You Are Galileo yang bisa dibongkar-pasang. Siswa akan diajari cara merangkai dan menggunakannya untuk mengamati benda-benda langit.

Vivi berharap, setelah pengamatan GMT berakhir, sekolah dapat mengembangkan proses pembelajaran itu. Dia juga berencana memberikan modul mengenai ilmu astronomi dasar kepada sekolah.

”Saya berharap bisa membuka jalan, apakah lewat surat, pesan singkat, atau telepon, agar mereka bisa berkomunikasi dengan kami jika ingin menanyakan tentang astronomi,” ujarnya.

Lebih dari itu, Vivi berharap siswa dan guru di Maba mau membentuk klub astronomi. Dengan begitu, siswa dapat lebih serius mempelajari benda-benda langit dan fenomenanya. ”Mereka bisa mencoba-coba membuat peralatan sederhana untuk mengamati benda langit. Enggak mesti mereka nanti kuliah di jurusan astronomi. Yang penting, mereka bisa mengembangkan daya kreativitasnya,” ujarnya.

Mendirikan klub astronomi di daerah bukan harapan berlebihan. Pada 2012, Vivi dan timnya, yang bekerja sama dengan sebuah yayasan pendidikan, pernah membangun klub astronomi di Ambon.

Pemerataan pendidikan
Selain alasan ilmiah, Vivi juga punya alasan lain lebih memilih mengamati GMT di daerah timur Indonesia. Sebagai orang yang berasal dari Ambon, dia merasakan betul ketimpangan pendidikan antara di Jawa dan di luar Jawa. Siswa di daerah timur Indonesia juga perlu kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

”Pertama kali saya datang ke Jawa, perbedaan (pendidikan) jauh sekali dengan di Ambon. Kami berharap bisa mendorong pemerataan pendidikan dengan memberikan kesempatan kepada siswa di daerah timur untuk mengamati gerhana matahari total dan belajar astronomi,” ujarnya.

Namun, upaya Vivi dan timnya untuk mendidik siswa di daerah timur tak selalu berjalan mulus. Saat mengajak siswa di Ambon untuk mengamati benda-benda langit pada 2012, mereka sempat dilarang pemerintah daerah setempat karena dianggap tak memiliki izin.

Pelarangan itu tak menyurutkan semangat Vivi. Dia terus bekerja untuk memperkuat kesadaran bahwa semua orang berhak mendapatkan pengetahuan tentang astronomi. Sebab, ilmu ini terkait erat dengan kehidupan sehari-hari.

”Waktu kecil, nenek saya mengatakan, kalau matahari sudah di atas kepala, berarti waktunya makan siang. Kalau matahari condong 45 derajat, berarti saatnya tidur siang. Hal-hal sederhana seperti itu sebenarnya berkaitan dengan astronomi,” ujarnya.

Menebar ”virus” astronomi
Sejak 2008, Vivi mulai menebar ”virus” astronomi dengan menjadi pengajar tamu di sekolah-sekolah di Kota Bandung, seperti Taman Kanak-kanak Tunas Unggul Bandung dan Sekolah Dasar Gagas Ceria Bandung. Mengajar astronomi kepada anak-anak TK dan SD memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan ini. Dia dituntut untuk menjelaskan fenomena-fenomena astronomi dalam bahasa sederhana sehingga mudah dimengerti siswa.

Di sekolah, Vivi mengenalkan hal-hal sederhana, seperti tata surya atau perbandingan antara besar bumi dan planet-planet lain. Dia paparkan juga benda-benda langit lain dan fenomenanya, seperti saat asteroid terbakar mendekati bumi yang disebut meteor. Meski sering dibuat bingung dengan pertanyaan tak terduga, dia senang mendidik siswa dan dapat memenuhi rasa ingin tahu mereka dengan jawaban-jawaban yang gampang dimengerti.

Vivi juga berbagi informasi mengenai dunia astronomi melalui situs web yang digagasnya, yaitu langitselatan.com. Situs itu juga memberikan keleluasaan kepada pengunjung untuk bertanya tentang dunia astronomi. ”Pengunjung langitselatan.com cukup antusias bertanya. Mulai dari anak sekolah yang ingin mengerjakan tugas, orangtua yang ingin mencari bahan pembelajaran bagi anaknya, hingga mereka yang menghubungkannya dengan hoax (kabar palsu),” ujarnya.

Gerhana matahari total pada 9 Maret nanti merupakan momen penting bagi dunia astronomi Indonesia. Vivi tak ingin fenomena itu terlewat begitu saja bagi astronom, siswa, guru, dan masyarakat luas. Di balik keindahannya, gerhana itu menyimpan segudang ilmu pengetahuan yang menarik untuk terus dipelajari.

Avivah Yamani Kompas/Tatang Mulyana Sinaga (TAM) 04-03-2016
Avivah Yamani
Kompas/Tatang Mulyana Sinaga (TAM)
04-03-2016

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Avivah Yamani

LAHIR:
Ambon, Maluku, 15 Januari 1980
Anak pertama dari dua bersaudara

PENDIDIKAN:
SD Negeri Latihan 1 Sekolah Pendidikan Guru Ambon
SMP Negeri 2 Ambon
SMA Negeri 2 Ambon
S-1 Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB)
S-2 Jurusan Astronomi ITB

PROFESI:
Astronom komunikator
Penggagas situs web langitselatan.com

TATANG MULYANA SINAGA
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Menebar ”Virus” Astronomi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Hebat! 5 Siswa Indonesia Raih Medali di Olimpiade Astronomi Internasional
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Berita ini 42 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Senin, 4 September 2023 - 07:59 WIB

Hebat! 5 Siswa Indonesia Raih Medali di Olimpiade Astronomi Internasional

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB