Gerhana Matahari Sebagian; Kamis Petang, Bulan Tampak ”Menyerempet” Matahari

- Editor

Senin, 19 September 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gerhana matahari cincin terjadi lagi Kamis (1/9). Wilayah yang bisa mengamatinya terentang dari Samudra Atlantik bagian tengah, tengah Afrika, hingga selatan Samudra Hindia. Puncak gerhana terjadi di selatan Tanzania pukul 12.07 waktu setempat atau 16.07 WIB, selama 3 menit 6 detik.

Gerhana matahari cincin itu tak bisa diamati dari Indonesia. Namun, di wilayah barat dan selatan Jawa serta selatan Sumatera akan mengalami gerhana matahari sebagian (GMS) sangat tipis. ”Piringan Matahari yang tertutup Bulan maksimal 3 persen,” kata astronom komunikator Avivah Yamani yang dihubungi dari Jakarta, Rabu kemarin. Kecilnya bagian Matahari yang tertutup Bulan membuat GMS itu terlihat seperti piringan Bulan menyerempet piringan Matahari. Karena itu, jangan membayangkan GMS petang nanti terlihat seperti gerhana matahari total dan sebagian 9 Maret lalu.

”Masyarakat awam akan sulit mengenali,” kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin. Bagi yang ingin tetap mengamati, prosedur keselamatan menggunakan kacamata gerhana atau filter teleskop harus diperhatikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

20160916_103300wKesulitan lain mangamati GMS Kamis petang adalah posisi Matahari dan Bulan yang sangat rendah, sedikit di atas ufuk. Gerhana terjadi 4-34 menit jelang Matahari terbenam. Karena itu, di beberapa wilayah, seperti Jakarta, fase maksimum dan akhir GMS tak akan terlihat karena Matahari sudah akan terbenam.

Persoalan lain, tambah Kepala Observatorium Bosscha ITB Mahasena Putra, daerah di sekitar ufuk barat jelang Matahari terbenam biasanya berawan sehingga menghalangi dan menyulitkan pengamatan gerhana.

”Observatorium Bosscha tidak akan mengamati karena posisi Matahari terlalu rendah, ” ujarnya. Rendahnya ketinggian Matahari juga sulit diamati menggunakan teleskop dengan dudukan tetap di observatorium.

Masalah cuaca juga bisa jadi kendala. Terlebih, beberapa pekan terakhir, hujan sering turun pada sore hari di Jawa.

Posisi Matahari yang sangat rendah itu membuat masyarakat yang ingin melihait ”serempetan” piringan Bulan dan Matahari harus mencari daerah medan pandang terbuka ke arah Matahari terbenam. Pantai bisa jadi Pilihan.

GMS kali ini, lanjut Thomas, akan jadi bonus pengamat hilal Bulan sabit tipis penanda datangnya bulan baru hijriah di barat-selatan Jawa dan selatan Sumatera. Namun, dipastikan hilal awal bulan Zulhijah tidak akan terlihat. (MZW)

Sumber: Kompas, 1 September 2016

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB