Hari beranjak petang ketika menyusuri jalan kecil masuk ke area perkampungan nelayan di Banjar Kelan Barat, Desa Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (21/1). Suasana lengang. Jukung-jukung membentuk siluet pada muara yang diapit rimbunan tanaman bakau.
Di kejauhan melintang kokoh jembatan tol Denpasar di atas permukaan laut. Tol di atas laut itu diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang pertemuan pimpinan eksekutif APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik), Oktober 2013.
Gede Suarsa (46) berjalan menuju muara saat dijumpai. Bersiap melaut. Apa kabar rencana reklamasi Benoa, yang bakal ada di depan muara tempat jukungnya sandar? ”Kami sudah dengar, tapi tidak tahu kapan mau dibangun,” ujar Suarsa. Soal sosialisasi? ”Tidak pernah ada yang datang sosialisasi,” tambahnya. Tidak juga Pak Lurah atau bendesa atau pihak investor atau pengembang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Informasi rencana pembangunan kawasan wisata modern di atas reklamasi Benoa didapat dari pengalaman ikut demo. ”Ketika itu, lupa kapan tepatnya, tapi sebelum pemilu presiden. Saya diajak demo. Demo di tengah sana,” tuturnya sambil menunjuk ke posisi yang diperkirakan bakal direklamasi. Ikut demo, bagi Suarsa menjadi tidak terelakkan karena ”Itu penghidupan kami,” ujarnya.
Pemahaman serupa ada pada Made Sudarma (41) yang ditemui kemudian. ”Tidak jelas bagaimana. Tapi, ya, kami tahu akan ada reklamasi,” ujarnya, setengah yakin. Mereka juga sebenarnya tidak tahu, bakal diminta pindah atau tidak. ”Sampai sekarang tidak ada perintah pindah,” kata Sudarma.
Satu hal yang pasti bagi keduanya, kini mereka disergap rasa khawatir yang dalam. ”Kalau direklamasi, apa kami masih bisa melaut? Mencari udang dan kepiting? Apa boleh…. Nanti akan ada banyak boat. Apa udang dan kepiting masih ada? Udang amat rentan pada kondisi kekeruhan air,” kata Suarsa. Cerita sama meluncur dari Sudarma. Mereka tak punya pekerjaan lain.
Lalu, ”Kami kerja apa?” kata Suarsa dan Sudarma. Keduanya tidak lulus SD. Keduanya tak memiliki keahlian lain, selain mencari kepiting dan udang. ”Kerja sebagai apa nanti? Kami tidak memiliki keahlian lain. Dari dulu kami kerja menangkap ikan. Hanya ini yang kami bisa,” kata Suarsa, datar saja.
Kepiting tangkapan mereka dijual Rp 10.000-Rp 15.000 per kilogram. Udang dihargai sekitar Rp 20.000-Rp 25.000 per kilogram. Rata-rata sehari, ujar Suarsa, dirinya mendapat sekitar tiga kilogram kepiting dan tiga kilogram udang. Semua tergantung musim.
Mimpi tentang sekolah
Baik Suarsa maupun Sudarma memiliki mimpi bisa menyekolahkan anaknya hingga tingkat pendidikan tinggi. Anak pertama Suarsa sudah bekerja, sedangkan dua lainnya masih sekolah, satu di antaranya di bangku SMA. Anak-anak Sudarma di bangku SMP, SD, dan masih usia balita. Secara keseluruhan, warga Kelan, Kelan Barat, dan Kelan Timura mencapai sekitar 100 keluarga yang semuanya nelayan.
”Saya takut tidak mendapat pekerjaan. Lalu, bagaimana masa depan keluarga saya,” kata Made Sudarma mengulang pernyataan Suarsa.
Reklamasi, menurut penuturan keduanya, juga seorang warga Kedonganan, bakal terentang hingga Kelurahan Kedonganan dan Kelurahan Jimbaran. Dua kelurahan tersebut penduduknya lebih banyak dibanding Kelan. Proyek yang diliputi pro dan kontra itu disediakan dana sekitar Rp 30 triliun.
Ada pengalaman getir mereka, bahkan sebelum reklamasi. ”Ketika itu, saat Obama datang, kami dilarang melaut,” kata Sudarma. Bersama sejumlah nelayan lain, mereka dijanjikan orang yang mengaku wakil pemerintah akan mendapat Rp 100.000 per hari sebagai ganti tidak melaut. Tiga hari tak melaut, mereka tak menerima apa pun hingga sekarang. ”Tidak ada apa-apa yang kami peroleh,” kata Sudarma.
Suara mereka memang sayup. Terentang panjang antara rakyat dan pemerintahnya. Suara keras para pendemo dari berbagai kalangan pun hingga kini tidak membuahkan hasil.
Yang pasti, untuk memuluskan reklamasi yang dibahasakan sebagai revitalisasi tersebut, peruntukan kawasan itu telah diubah dari peruntukan konservasi menjadi daerah pemanfaatan atau budidaya. Perubahan ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 sebagai revisi Perpres No 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.
Quo vadis konservasi? Quo vadis pemberdayaan masyarakat? Entah, kapan mereka bakal sejahtera. Entah. (ISW)
Sumber: Kompas, 26 Januari 2015