Desa Muara Ujung, Kabupaten Teluk Naga, Banten, sekitar 10 kilometer dari Bandara Soekarno-Hatta, dulunya adalah desa pesisir Laut Jawa dibentengi mangrove tebal. Di sana, sekitar 30 tahun lalu, warga berbagi ruang hidup dengan ratusan monyet ekor panjang.
Saat itu, hutan mangrove masih ratusan hektar. Namun, penambangan pasir membuat rusak, disusul pembuatan petak-petak tambak masif. ”Sejak itu, bekas-bekas monyet tidak ada sama sekali,” kata Amil Nazan, warga yang lahir dan besar di Muara Ujung, Selasa (4/6).
Pada pertengahan 1980-an itu, Amil dan kawan-kawannya harus menembus lebatnya mangrove menuju pantai. Kini, pantai dan hutan itu hilang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tambak-tambak warga juga direbut kembali oleh ombak Laut Jawa. ”Bangunan di tengah laut itu bekas menara air,” ujar Amil menunjuk sisa bangunan di tengah laut.
Abrasi laut membuat daratan tergerus 1-4 km jauhnya. Kini, beberapa batang mangrove tersisa di beberapa tempat, terutama di tepian sungai.
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang 2002, luas lahan yang terkena abrasi mencapai 197,3 hektar. Tahun yang sama, Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung mencatat kerusakan mangrove di Kabupaten Tangerang 371 ha, yang 118 ha di antaranya di Kecamatan Teluk Naga.
”Dari 4.000-an penduduk, 60 persen warga Desa Muara bermata pencarian nelayan tambak. Sebagian di pemancingan,” kata Kepala Desa Muara Ujung Muhammad Yasin.
Nelayan tambak atau biasa dikenal sebagai nelayan darat membudidayakan dan mencari ikan di daerah pesisir. Adapun pemancingan yang dimaksud berupa kolam-kolam luas yang tersebar di sepanjang jalan masuk menuju Desa Muara Ujung hingga tepi laut.
Sejak akses jalan dibeton, kawasan ini ramai, khususnya akhir pekan. Tarif memancing Rp 25.000 hingga Rp 50.000. Lalu, munculnya warung makan mengiringi bisnis memancing.
Namun, bisnis itu terancam abrasi. Tak ada pelindung alami dari kejamnya ombak Laut Jawa. Mangrove tak di sana lagi.
Rehabilitasi
Hampir dua tahun terakhir, sekitar 100 warga dapat kesibukan baru. Mereka dilatih menyemai, menanam, dan memelihara mangrove oleh tim dari IPB dan Universitas Trisakti. Adapun dukungan dana dari PT Pertamina. Jenis mangrove yang ditanam adalah api-api (Avicennai spp), bakau minyak (Rhizophora apiculata), dan bakau merah (Rhizophora mucronata).
”Mangrove menahan abrasi dan intrusi air laut. Selain itu, akarnya juga menjadi sarang kepiting bakau, udang, dan ikan,” kata Andi Sukendro, dosen Budidaya Kehutanan IPB.
Kini, hancurnya mangrove membuat warga kekurangan air bersih. ”Warga harus membeli air untuk minum,” kata Amil.
Menurut Arri Gunarsa, Direktur Bina Lanskap dan Lingkungan Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, sejumlah pengelola tambak meminta tanggul tambaknya ditanami mangrove. Mereka adalah pengelola tambak yang menyadari pentingnya fungsi tambak. Namun, ada juga pengelola yang menolak. Alasannya, panen ikan susah karena banyak akar.
Kini, Muara Ujung berbenah, setelah monyet-monyet punah. Pada saat yang sama, ombak Laut Jawa terus mengokupasi daratan. Sebenarnya, manusialah yang kalah. (A12)
Sumber: Kompas, 9 Juni 2014