Prof Dr Julie Sulianti Saroso adalah seorang dokter, perempuan pejuang, dan tokoh kesehatan dunia. Namanya ditabalkan menjadi nama rumah sakit khusus penyakit infeksi yang jadi rujukan penanganan wabah penyakit menular.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ISTIMEWA–Prof Dr Julie Sulianti Saroso dengan salah satu cucunya.
Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara, selalu menjadi rujukan utama tiap kali ada wabah penyakit menular yang menyebar global, sampai ke Indonesia. Termasuk saat wabah penyakit akibat virus korona jenis baru (Covid-19) ternyata sudah menyebar ke Indonesia dan sampai Jumat (6/3/2020) telah menginfeksi empat orang.
Keempat orang ini, bersama dengan lima orang lain yang masih berstatus suspect Covid-19, tengah dirawat di RSPI Sulianti Saroso. Siapa Sulianti Saroso, dokter yang namanya ditabalkan menjadi rumah sakit khusus penyakit infeksi ini?
Terlahir dengan nama Julie Sulianti pada 10 Mei 1917, Syuul, demikian nama panggilan akrabnya, adalah dokter perempuan yang juga pejuang di garis depan pada masa awal kemerdekaan. Syuul mengikuti jejak ayahnya, dr Sulaiman, untuk menjadi dokter selepas lulus dari sekolah Gymnasium di Bandung (1935). Dia melanjutkan pendidikan pada Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskundige Hoge School (GHS) dan lulus pada tahun 1942.
Syuul memang dari keluarga terpandang. Wartawan tiga zaman Rosihan Anwar yang menulis obituari Syuul di harian Kompas, 3 Mei 1991, menyebut, Syuul bahkan sudah menonjol saat masih menjadi mahasiswa kedokteran.
”Di zaman penjajahan, tidak banyak jumlah dokter wanita Indonesia dan Syuul termasuk yang menonjol. Sebagai mahasiswa kedokteran, ia menarik perhatian karena cantik, lincah dalam pergaulan, dan karena dia sportgirl, gemar bermain tenis. Ia bergerak dalam lingkungan yang oleh wartawan Zentgraaf dari De Java Bode disebut dengan istilah de Javaanse elite in Batavia seperti keluarga dr Oerip, dr Latip atau de regenten families van Bandung, Buitenzorg, Cianjur yang sosialisasi mereka dijepret fotograf dan dimuat dalam majalah Belanda De Orient,” demikian tulis Rosihan.
Setelah lulus GHS, Syuul bekerja sebagai dokter pada Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ) atau yang sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Pusat dr Cipto Mangunkusumo (RSCM). Menurut Rosihan, Syuul awalnya sosok yang apolitis, tak menaruh minat dalam soal-soal politik.
Namun, masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan Perang Kemerdekaan (1945-1949) mengubah semuanya. Dalam masa pergolakan tersebut, Syuul tak hanya menjadi dokter di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, tetapi juga aktif di sejumlah organisasi perempuan. Dia menjadi anggota Dewan Pimpinan Kongres Wanita Indonesia dan aktif di Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia sebagai perwakilan Pemuda Putri Indonesia
KOMPAS/PRIYOMBODO–Petugas keamanan mengenakan masker saat berjaga di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Senin (2/3/2020). Di rumah sakit ini dirawat dua warga Depok, Jawa Barat, yang dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Dua warga ini diketahui berkontak langsung dengan warga Jepang saat berkunjung ke Indonesia yang belakangan diketahui terjangkit Covid-19.
Bahkan sejarah mencatat, Syuul ikut berjuang di garis depan pertempuran. Menurut Rosihan, Syuul mengusahakan obat dan makanan untuk para pemuda dan pejuang. Syuul sendiri yang mengantarkan obat dan makanan tersebut ke front Tambun (Jawa Barat), Gresik (Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), dan sekitar Yogyakarta.
Saat Agresi Militer Belanda Kedua, Syuul bahkan pernah ditahan tentara Belanda selama dua bulan di Yogyakarta. Dia dituduh melakukan kegiatan subversif terhadap Belanda.
Catatan keberanian Syuul bukan hanya itu. Di masa Perang Kemerdekaan, ketika Belanda memblokade Indonesia, Syuul pergi ke India menghadiri Kongres Wanita Seluruh Dunia. Ada catatan menarik dari Rosihan saat Syuul menghadiri Kongres Wanita Seluruh Dunia di New Delhi, India, ini. Syuul ketika itu naik pesawat milik industrialis India, Patnaik. Dia kembali ke Indonesia pada Juli 1948 dengan rute New Delhi, Bukittinggi, lalu Yogyakarta. Syuul satu pesawat bersama Suparto dan sekretarisnya, Suripto. Menurut Rosihan, Syuul tidak tahu bahwa Suparto sesungguhnya adalah Muso.
Dalam berpolitik, Rosihan menulis, mentor Syuul adalah Subadio Sastrosatomo, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang kemudian Ketua Fraksi Partai Sosialis Indonesia. Nama Saroso di belakang Sulianti adalah nama suami keduanya, Dr Saroso Wirodihardjo, ekonom dan politisi PSI.
Seusai Perang Kemerdekaan, Syuul bekerja di Kementerian Kesehatan hingga pensiun. Syuul tercatat pernah menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular merangkap Ketua Lembaga Riset Kesehatan Nasional. Setelah tak lagi menjabat dirjen, Syuul menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Syuul pensiun pada 31 Desember 1978. Namun, sehari berikutnya dia menjadi Staf Ahli Menteri Kesehatan.
Semasa bersekolah dan kuliah di kedokteran, Syuul termasuk siswa yang cerdas. Dia tercatat pernah mendapat beasiswa Unicef untuk belajar kesehatan masyarakat di Inggris, Skandinavia, Amerika Serikat, dan Malaysia.
Syuul mendapat gelar sarjana public health administration dari Universitas London. Tahun 1961-1965, Syuul menjadi research associate di School of Medicine, Tulane University, New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat. Di sini, Syuul melakukan penelitian soal penyakit lumpuh dan keracunan serangga di Kolombia. Di kampus ini pula Syuul pernah memberikan mata kuliah epidemiologi.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Lorong ruang isolasi, yang salah satu fungsinya untuk merawat pasien terduga MERS-CoV, Rabu (22/6/2015), di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara. Rumah sakit ini merupakan pusat rujukan nasional penyakit infeksi, termasuk MERS-CoV.
Pada tahun 1962, Syuul mendapat gelar master public health and tropical medicine. Gelar doktor di bidang epidemiologi diraihnya tahun 1965 dengan penelitian disertasi berjudul ”The Natural History of Enteropathogenic Escherichia Coli Infections”.
Sebagai pendidik, Syuul diganjar gelar guru besar oleh Universitas Airlangga pada tahun 1969. Pidato pengukuhannya sebagai guru besar mengetengahkan tema tentang ”Pendekatan Epidemiologis dalam Menanggulangi Penyakit”. Tak hanya itu, Syuul juga menjadi guru besar luar biasa pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Di dunia internasional, nama Syuul juga harum. Dia tercatat pernah menjadi anggota Komite Ahli Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk kelahiran dan kesehatan anak (1955-1960). Selama 1971-1974, Syuul tercatat sebagai anggota Badan Eksekutif WHO. Pada 1973, Syuul terpilih sebagai Presiden Majelis Kesehatan Dunia yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Suasana RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Senin (2/3/2020). Di rumah sakit ini dirawat dua warga Depok, Jawa Barat, yang dinyatakan positif terinfeksi Covid-19.
Dalam sejarah WHO, Syuul adalah perempuan kedua setelah dokter Rajkumari Amrit Kaur dari India yang pernah memimpin Majelis Kesehatan Dunia. Selama 10 tahun (1969-1979), Syuul tercatat sebagai anggota Panitia Pakar WHO untuk Pengawasan Internasional Penyakit Menular.
Syuul meninggal pada 29 April 1991 malam dan dimakamkan di Karet, Jakarta, keesokan harinya. Empat tahun setelah kematiannya, nama Sulianti Saroso ditabalkan menjadi nama rumah sakit khusus penyakit infeksi di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sejak itu, RSPI Sulianti Saroso selalu menjadi rujukan tiap kali ada penyakit menular mewabah di Indonesia.
Oleh KHAERUDIN
Editor M FAJAR MARTA
Sumber: Kompas, 6 Maret 2020
———–
Sulianti Saroso, Sosok di Balik RS Pusat Infeksi
Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso menjadi tempat perawatan intensif pasien Covid-19 di Indonesia.
Di balik bangunan RSPI terdapat sosok dokter perempuan yang namanya diabadikan di rumah sakit tersebut.
Dilansir dari portal resmi Provinsi DKI Jakarta, perempuan kelahiran Karangasem, Bali tanggal 10 Mei 1917 memiliki nama panjang Julie Sulianti Saroso.
Beliau merupakan seorang tokoh kedokteran Indonesia yang memiliki dedikasi yang cukup tinggi terhadap kesehatan di Indonesia.
Sul, panggilan akrabnya merupakan putri kedua dari dr. Sulaiman. Keinginannya sebagai dokter tentu menurun dari sang ayah.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Gymnasium, Bandung (1935), Sul kemudian melanjutkan pelajaran di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge Scholl), Batavia.
Sul muda lulus pada 1942 dan bekerja sebagai dokter pada Centrale Burgelijke Ziekenhuis yang sekarang menjadi RS Cipto Mangunkusumo.
Masa perjuangan
Meski perempuan, Sulianti tak pernah takut berada di tengah-tengah kerasnya peperangan untuk membantu para pejuang yang terluka.
Dirinya cukup cekatan untuk mengobati bahkan mengorgansasi dapur umum demi kebutuhan gerilyawan yang masuk kota.
Disamping aktif dalam pergerakan, Sulianti juga menjadi dokter di RS Bethesda di Yogyakarta untuk bangsal penyakit dalam dan penyakit anak.
Karena cukup aktif dalam politik dan pergerakan, Sulianti sempat ditahan oleh pemerintah Belanda selama dua bulan di Yogyakarta.
Sulianti juga aktif menjadi anggota Dewan Pimpinan Konggres Wanita Indonesia (Kowani) dan duduk dalam Badan Konggres Pemuda Republik Indonesia sebagai wakil Pemuda Puteri Indonesia (PPI).
Sepak terjang Sulianti sebagai dokter pada masa perjuangan patut diacungi jempol, dirinya selalu mengusahakan obat dan makanan untuk para pemua dan pejuang.
Bahkan obat dan makanan diantarkan dirinya sendiri langsung ke kantong-kantong gerilya di Tambun, Gresik, Demak dan sekitar Yogyakarta. Pada 1947, dirinya pergi ke India menghadiri Konggres Wanita Seluruh India sebaga wakil Kowani bersama Ny. Utami Suryadarma.
Tak segan dirinya menumpang pesawat terbang milik industrialis Patnaik yang saat itu menjadi blockade runner, untuk menembus blokade yang dipasang Belanda.
Sekembalinya dari India ke Bukittinggi, kemudian ke Yogyakarta, ketertarikan Sulianti untuk berpolitik muncul.
Mentor dalam pendidikan politik adalah Soebadio Sastrosatomo, anggota Badan Pakerka KNIP, kemudian Ketua Fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam parlemen hasil Pemilu 1955.
Usai kemerdekaan Setelah kemerdekaan Indonesia, Sulianti memfokuskan diri pada dunia kedokteran.
Dirinya bekerja di Kementerian Kesehatan berturut-turut dari 1951-1961. Dengan menjabat sebagai: Kepala Bagian Kesejahteraan Ibu dan Anak, Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri, Wakil Kepala Bagian Pendidikan, Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Desa dan Pendidikan Kesehatan Rakyat, Kepala Planning Board.
Pada 1967, Sulianti diangkat menjadi Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) merangkap Ketua Lembaga Riset Kesehatan Nasional.
Tahun 1975, Sulianti berhenti sebagai Dirjen P4M dan menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Setelah pensiun pada 31 Desember 1978 menjadi staf ahli Menteri Kesehatan.
Penggagas Keluarga Berencana (KB)
Kecerdasan dan kecakapannya membuat Sulianti mendapatkan beasiswa UNICEF untuk memperdalam pengetahuan di bidang Kesehatan Masyarakat dan Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) di Inggris, Skandinavia, Amerika Serikat dan Malaysia.
Dirinya mendapat izin Administrasi Kesehatan Rakyat dari Universitas London.
Sekembalinya dari luar negeri, Sul membawa banyak gagasan mengenai kesehatan ibu dan anak. Terutama untuk pengendalian angka kelahiran melalui pendidikan seks dan gerakan Keluarga Berencana (KB).
Dalam buku People, Population, and Policy in Indonesia (2004) karya H Hull, Sulianti meminta pemerintah untuk membuat keputusan yang mendukung penggunaan kontrasepsi demi kesehatan masyarakat.
Namun hal tersebt membuat geram beberapa tokoh, termasuk Muhammad Hatta yang saat itu sebagai Wakil Presiden.
Meski gagasan ekonominya maju, diskusi mengenai hal tersebut dianggap kurang tepat dan kurang wajar jika digunakan dalam komunikasi massa.
Bung Hatta meminta Sul tidak lagi mendiskusikan hal tersebut. Bahkan dirinya juga mendapat peringatan dari Menteri Kesehatan yang mendapat teguran dar Presiden Sukarno.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Sukarno tidak serta merta menolak, hanya saja dirinya cukup berhati-hati di tengah ketegangan politik mengenai pelanggaran moral atas KB.
Mulai saat itu, Sulianti bekerja dengan perlahan dan hati-hati, sehingga banyak Yayasan Kesejahteraan Keluarga berdiri untuk membuka akses pengaturan kehamilan serta kesehatan ibu dan anak.
Anggota WHO
Keluarga Berencana yang dipelopori Sulianti akhirnya mendapat tempat pada masa Orde Baru dengan Program Keluarga Berencana.
Dedikasinya dalam kesehatan sampai ke WHO. Sulianti diangkat menjadi anggota badan eksekutif dan Ketua Health Assembly (Majelis Kesehtan) yang berhak menetapkan dirjen WHO.
Selama 25 tahun pertama WHO, hanya ada dua perempuan terpilih sebagai Presiden Majelis Kesehatan Dunia, yaitu Rajkumari AMrit Kaur dari India dan Julie Sulianti Saroso dari Indonesia.
Perjalanan dan perjuangan Sulianti untuk mengangkat kesehatan di Indonesia ketingkat dunia patut menjadi contoh. Sul meninggal dunia pada 29 April 1991 dan namanya diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.
Penulis Serafica Gischa
Editor Serafica Gischa
Sumber: Kompas.com – 05/03/2020