BERBAGAI kisah misteri sering melukiskan, satu hari kita akan bertemu dengan manusia purba. Kisah semacam itu ternyata tak terlampau mengada-ada. ”Dengan hasil pertanggalan terbaru, manusia purba asal lembah Bengawan Solo, Homo erectus, ternyata memang pernah hidup sezaman dengan leluhur kita satu dari species, Homo sapiens.” Prof Dr Teuku Jacob, kemudian membuka almari besi Laboratorium Bioantropology dan Paleoanthropology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tersimpan dalam almari tersebut, sejumlah tengkorak Homo erectus yang sudah menjadi fosil. ”Sekitar 50 individu makhluk purba jenis ini pernah ditemukan di Jawa sebagian besar fosilnya telah tersimpan di sini, sebagian kecil masih ada di Leiden Belanda dan Berlin, Jerman.”
Hasil pertanggalan terbaru yang pertengahan Desember ini diumumkan dalam Majalah Science (dan bulan Februari 1997 nanti diulang lebih lengkap dalam Majalah National Geographic) menyebutkan, Homo erectus masih tersisa hidup sampai 27.000 tahun silam. Dengan demikian rentang kehidupan makhluk ini ternyata sangat panjang, karena individu sejenis yang pernah ditemukan di Perning, Jawa Timur, hidup pada sekitar 1,8 juta tahun lalu. Sementara leluhur kita Homo sapiens sudah muncul di bumi sekitar 200.000 tahun silam. Homo erectus berasal dari paduan kata homo manusia dengan erectus, berdiri tegak. Nama ilmiah untuk menyebut manusia purba yang sisa-sisa fosilnya pernah ditemukan di sepanjang Lembah Solo, di Sangiran, Ngandong, Sambungmacan sampai Perning. Kita, manusia masa kini, dalam pembabakan ilmiah dimasukkan ke dalam ordo primates, genus homo dan speciesnya, sapiens (bijak). ”Saya sendiri heran, bagaimana mungkin berani menyebut diri sendiri bijak. Toh pada umumnya kita ini justru lebih sering bertingkah laku pra-sapiens, belum bijak,” kata Jacob bercanda.
Angin bertiup perlahan dari pucuk-pucuk cemara Kampus Bulaksumur. Tiupannya menjadikan suasana setempat semakin teduh. Dengan segera terbayang, tengkorak dalam laboratorium tersebut menjelma menjadi makhluk tegap, dengan tinggi sekitar 175 cm dan berperawakan berotot. ”Sayang, mereka belum bisa bertutur seperti kita, karena bentuk marihnya seperti yang dapat disimpulkan dari sisa dasar tengkorak dan bentuk lubang besar di dasar kepalanya, tidak membentuk pita bersiku, yang memungkinkan variasi lokal dan konsonan dikembangkempiskan secara cepat dan terpisah, seperti kita. Tetapi meski begitu, mereka sudah mampu berkomunikasi vokal, dibantu oleh isyarat muka dan kepala, tangan dan tubuh.” komontar Jacob.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan bantuan Teuku Jacob, satu-satuya ahli anthropologi ragawi di Indonesia, gambaran mengenai makhluk ini memang bisa menjadi ramah. Dulu pernah disangka, Homo erectus galak, senang memangsa sesamanya dan berbagai macam kelakuan buruk lainnya. ”Kanibalisme tidak mungkin mereka lakukan, karena daging hewan pada masa itu justru berlimpah ruah. Dan kalau mereka saling memangsa, ikatan kelompok bakal bubar, mereka segera punah, karena hidupnya akan saling intai-mengintai, bunuh-membunuh. Memangsa sesama hanya mungkin dilakukan oleh-orang modern, bukan oleh manusia purba, katanya lagi.”
BUMI, planet tempat kita tinggal, yang hari Rabu ditandai sebagai awal tahun baru 1997, sebenarnya sudah mulai terbentuk sekitar 4,7 milyar tahun silam. Meskipun sudah mewujud sekian milyar tahun, tetapi para ahli bersepakat, manusia baru muncul pertama kali di Afrika sekitar empat sampai tiga juta tahun lalu. Kemudian, mungkin pada sekitar dua juta tahun silam, mereka berangsur-angsur mulai bermigrasi ke arah timur laut, berpindah dari dasawarsa ke dasawarsa, dari abad ke abad, hingga akhirnya sampai di Cina dan Asia Tenggara. Sebagian lagi mengarus ke Eropa, menetap di bagian timur, selatan dan akhirnya barat dan juga utara.
Kepindahan mereka tidak dalam bentuk besar-besaran, berupa exodus atau diaspora, tetapi dalam bentuk kelompok kecil, berpindah dalam jarak cukup untuk memisahkannya dari kelompok induk, sehingga dapat tertampung dan terdukung oleh lingkungan setempat untuk hidup berburu sambil meramu makanan.
Dalam perjalanan selama jutaan tahun inilah, manusia sebagaimana halnya setiap makhluk hidup, mengadakan evolusi biologis. Kecenderungan yang terpenting dalam evolusi adalah pembesaran otak dan berdiri tegak pada kedua kaki. Situasi baru tersebut memungkinkan tangan melakukan pekerjaan yang semula hanya dikerjakan dengan mulut dan gigi. Lebih penting lagi, bebasnya tangan meningkatkan manipulasi, manusia mulai bisa membuat alat, mengambil bahan dari lingkungan dan membentuknya menurut pola tertentu untuk suatu penggunaan berikut pola tradisi yang diwariskan, dari satu generasi ke generasi lain.
Tangan dengan bantuan jemari mulai dapat menggenggam secara cermat serta bisa melakukan pekerjaan halus. Bertambahnya ketrampilan tangan serta koordinasi mata, menjadikan pusat susunan saraf mulai ikut berkembang. Isi otak semakin membesar dan struktur dalamnya semakin bertambah rumit. Pada bagian lain, perubahan jenis serta pengolahan makan dan pembuatan api mengurangi keperluan akan alat kunyah yang masif. Dampaknya, gigi lantas mereduksi, otot kunyah menyusut, rahang bertambah kecil dan seluruh tengkorak juga ikut mengecil.
Berburu tak mungkin bisa hanya sendirian, apalagi memburu hewan liar. Lahirlah komunikasi, dimulai lewat isyarat dengan tangan, muka, kepala dan tubuh. Pusat komunikasi di otak ikut berkembang dan alat penyuaran mulai dapat digunakan dengan baik, bersamaan perubahan sikap tegak dan letak kepala di atas tulang belakang. Pipa suara menjadi dua bagian yang tegak lurus, dapat berubah dengan cepat dan kemudian dimodifikasikan di rongga mulut dan hidung. Kemahiran bertutur ikut serta mengembangkan pusat tutur di otak, selanjutnya memungkinkan pengembangan bahasa.
Dalam evolusi biologis terjadi instruksi antara genetika dan lingkungan. Evolusi biologis menjadi dasar bagi evolusi kultural yang berpengaruh balik kepada biologi dan lingkungannya. Evolusi kultural semula berlangsung perlahan, sehingga 90 persen sejarah manusia hanya dilalui sebagai pemburu. Baru sesudah mereka hidup bercocok tanam, bermukim dalam kelompok besar, tersedia waktu senggang lebih efisien karena lingkungan mulai bisa terkendalikan, evolusi budaya berlangsung lebih cepat.
LAHIR tanggal 6 Desember 1929 sebagai putra bangsawan di Peurleak, Aceh Timur, Teuku Jacob memilih profesi kedokteran karena berpendapat, ilmu itulah yang bisa berguna baik dalam masa perang dan damai. Dalam perjalanan waktu, bekas dekan fakultas kedokteran dan juga mantan Rektor UGM tersebut akhirnya lebih tertarik mendalami cabang ilmu antropologi ragawi. Ia akhirnya tampil sebagai pemburu jejak manusia purba.
”Sejarah kehadiran manusia purba di Indonesia terkait dengan sejarah manusia di dunia. Kepurbaan manusia di Jawa, sesuai hasil pertanggalan radiometri sudah berlangsung sejak sekitar dua juta tahun sebelum masa sekarang, ketika belum semua wilayah dan benua punya penghuni.., ujarnya.” Jejak-jejak itulah yang terus dilacak, untuk bisa menyingkapkan misteri sekitar asal usul kehidupan kita.
Tahun 1891, ketika fosil pertama Homo erectus ditemukan Dubois, dunia ilmiah gempar dengan sangkaan terwujudnya missing link mata rantai kehidupan manusia. Dua minggu lalu, ketika hasil pertanggalan menunjukkan Homo erectus masih tersisa sampai 27.000 tahun silam, terjadi goncangan serupa. Manusia purba dan manusia masa kini ternyata pernah hidup berdampingan. Apakah mereka hidup bertetangga dengan baik atau selalu bertengkar, masih lebih banyak bukti harus bisa dilacak. Tetapi kehidupan manusia memang bukan seperti rantai lurus, mereka bercabang dalam spesies yang berbeda. (Julius Pour)
Sumber: KOMPAS: KAMIS, 2 JANUARI 1997