”Homo Erectus” Bertahan di Jawa hingga 108.000 Tahun Lalu

- Editor

Jumat, 20 Desember 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Manusia purba ”Homo erectus” ternyata masih bertahan di Ngandong, Jawa Tengah, hingga 117.000-108.000 tahun lalu. Itu merupakan jejak termuda spesies ini di bumi.

Manusia purba Homo erectus ternyata masih bertahan di Ngandong, Jawa Tengah, hingga 117.000-108.000 tahun lalu dan merupakan jejak termuda spesies ini di bumi. Itu menunjukkan Pulau Jawa pada masa lalu memiliki daya dukung sangat baik bagi kehidupan Homo erectus yang awalnya berevolusi di Afrika sekitar 1,8 juta tahun lalu. Hasil kajian ini dipublikasikan di jurnal internasional Nature edisi terbaru, Desember 2019.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Fosil Homo erectus dipamerkan dalam Pameran ASOI: Asal-Usul Orang Indonesia, Selasa (15/10/2019), di Museum Nasional, Jakarta. Pameran berisi pemetaan terhadap asal-usul orang Indonesia melalui tes Deoxyribonucleic acid (DNA). Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa dan 500 populasi etnik dengan budaya beragam. Pameran berlangsung hingga 10 November 2019.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Dalam penelitian ini kami melakukan dating (penanggalan) secara komprehensif, baik dari lapisan sedimen maupun fosil-fosil fauna yang ditemukan, sehingga sangat yakin dengan kesahihan hasilnya,” kata Yan Rizal dari Departemen Geologi, Institut Teknologi Bandung (ITB), penulis pertama paper ini, yang saat dihubungi berada di Malaysia, Kamis (19/12/2019).

Dalam penelitian bersama tim berbagai universitas di luar negeri ini, menurut Yan, mereka mengkaji ulang lapisan tanah dan fosil fauna di tepi aliran Bengawan Solo di Ngandong. Di lokasi itu, pada 1931 dan 1933 ditemukan 12 bagian tengkorak dan dua lengan Homo erectus.

Selama 16 tahun, Yan dan tim melakukan kajian di situs Ngandong. Di lapisan yang sama ditemukannya fosil H erectus ini, mereka menemukan fosil harimau hingga kerbau dan gajah. ”Kali ini kami tidak menemukan fosil H erectus, tetapi dengan mengetahui lapisan tanah dan fauna lainnya, kita bisa mengetahui umur manusia purbanya,” katanya.

Metode penanggalan menggunakan uranium, argon-argon, hingga karbon. ”Hasil penanggalan menunjukkan, lapisan kehidupan Homo erectus di Ngandong ini ternyata yang paling muda yang pernah ditemukan di tempat lain,” kata Yan.

–Kondisi teras tebing di kawasan Ngandong pada masa lalu, saat ditemukannya fosil manusia purba Homo erectus. Manusia purba ini diperkirakan masih hidup di Ngandong hingga 108.000 tahun lalu, yang merupakan jejak termuda dari spesies ini. Sumber: Yan Rizal dkk, Nature, 2019

Mendukung kehidupan
Homo erectus diketahui berevolusi di Afrika sejak sekitar 1,9 juta tahun lalu dan merupakan spesies hominid pertama yang berjalan tegak serta memiliki volume otak besar dan telah mampu membuat alat. Manusia purba ini menyebar luas di luar Afrika dan diketahui telah ada di Jawa sejak 1,5 juta tahun lalu.

Selain di Ngandong, H erectus ditemukan di Sangiran (perbatasan Karanganyar dan Sragen), Trinil (Ngawi), dan beberapa kawasan lain di sepanjang aliran Bengawan Solo. H erectus di Sangiran itu diperkirakan berumur 1,5 juta tahun lalu dan baru-baru ini, tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta di bawah pimpinan Harry Widianto menemukan jejak H erectus di Bumiayu yang berusia sekitar 1,8 juta tahun lalu.

Jejak Homo erectus di Afrika dan Asia daratan lain sebelumya diperkirakan telah menghilang sejak sekitar 500.000 tahun lalu. Namun, temuan di Ngandong itu mengonfirmasi, H erectus masih bertahan di Jawa hingga 108.000 tahun.

Yan menambahkan, berdasarkan sedimen tanah dan fosil yang ditemukan, kawasan sekitar Ngandong pada masa lalu merupakan sabana terbuka. Selain kaya binatang buruan besar, kawasan itu kemungkinan kaya beragam sumber pangan lain sehingga sangat mendukung kehidupan Homo erectus.

Sekitar 100.000 tahun lalu, iklim global menghangat dan basah. Hal itu mengubah sabana menjadi hutan hujan yang lebat. Perubahan lansekap itu mempersulit kehidupan Homo erectus. Oleh karena itu, ketika Homo sapiens diperkirakan tiba di Jawa sekitar 40.000 tahun lalu, H erectus sudah tidak ada.

Namun, menurut Yan, berdasarkan temuannya yang lain di kawasan pesisir Rembang, ditemukan fosil yang diduga Homo sapiens dengan umur sekitar 90.000. ”Saat ini masih proses analisis lebih lanjut. Jika memang benar ini fosil Homo sapiens, maka akan jadi pengetahuan baru dan bisa jadi memang H erectus pernah hidup sezaman dengan Homo sapiens,” ungkapnya.

Ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Supolo Sudoyo, yang tidak terlibat dalam kajian ini mengapresiasi temuan yang memperkaya peta manusia purba di dunia, termasuk di Indonesia. Namun, melihat umurnya, bisa jadi fosil ini juga manusia purba Homo denisovan, yang secara genetik ditemukan jejaknya paling tinggi pada populasi Papua.

–Proses pembauran gen Denisovan pada populasi manusia modern. Sumber: Eijkman, Cell, 2019

Denisovan merupakan cabang keturunan dari H heidelbergensis yang muncul di Afrika sejak 380.000 tahun lalu dan kemudian menyebar ke Asia dan Eropa. Sementara sekitar 250.000 tahun lalu H heidelbergensis yang masih bertahan di Afrika kemudian bercabang menjadi Homo sapiens atau manusia modern.

Kajian terpisah kolaborasi peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dengan periset sejumlah negara diterbitkan di jurnal Cell, 11 April 2019, menunjukkan, DNA orang Asia Tenggara punya gen manusia purba paling beragam, disebut D0, D1, dan D2. Varian D1 hanya ditemukan pada orang Papua dan sekitar sehingga populasi itu memiliki komposisi Denisovan paling lengkap dan tertinggi.

Oleh AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 19 Desember 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma
Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Berita ini 19 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 12 November 2025 - 20:57 WIB

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB