Prof Dr T Jacob: Fosil Ngandong Ternyata Bukan ”Homo Erectus” Paling Maju

- Editor

Senin, 2 Januari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Anggapan ahli paleontologi mengenai fosil yang tersimpan di Ngandong, Ngawi (Jatim), Sebagai homo erectus yang sudah berevolusi atau sudah maju, kini dipertanyakan lagi. Setidaknya setelah tim dari Bioantropologi Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta yang dipimpin Prof Dr T Jacob mengemukakan penelitiannya, ternyata usia homo erectus Ngandong sudah 355.000 tahun. Jadi Manusia Ngandong bukanlah homo erectus yang paling maju, sebagaimana keyakinan selama ini.

Dr Jacob mengungkapkan kepada Kompas di Yogyakarta ini, hasil penelitiannya menyengat dunia paleontologi yang menganggap manusia ”Jawa” homo erectus dari Ngandong ini, sebagai paling muda, paling main di antara temuan fosil jenis pithecanthropus di dunia. Bahkan banyak ahli yang telah memproyeksikan homo erectus Ngandong dengan manusia Indonesia, Papua Nugini, dan Australia.

Penelitian untuk mengetahui usia Manusia Ngandong itu, menggunakan metode penyinaran sinar alfa langsung terhadap fosil temuan. ”Jadi pengamatan kami bukan berdasarkan lingkungan situs, atau kondisi tanah sedimen yang membenamnya, tetapi khusus pada fosilnya sendiri,” jelasnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lebih tua
Jacob mengemukakan, penelitian umur pithecanthropus atau homo erectus Ngandong dengan berdasarkan endapan sedimen yang membenamnya, memang menghasilkan berbagai kesimpulan. Ada yang menyebutkan usianya 200.000 tahun, malah ada yang 80.000-100.000 tahun. ”Jadi rasanya beda jauh dengan pengamatan yang baru kami lakukan, yang secara pasti mengasumsikan bahwa usia homo erectus Ngandong 355.000 tahun,” tegasnya.

Di situs Ngandong ditemukan lebih dari 10 tengkorok manusia yang dipersonifikasikan sebagai homo erectus itu. Di situs yang terletak 20 meter di atas Sungai Bengawan Solo itu juga ditemukan pula puluhan fosil Mamalia. Fosil tengkorak itu ditemukan Jawatan Geologi Hindia Belanda. Dari temuan itu, bulan September tahun 1931, peleontolog Belanda WFF Oppenoorth, C Ter Har, dan GHR Von Konigswald, melakukan penggalian lanjutan dan menemukan tengkorak yang sama dalam jumlah lebih banyak. Konigswald sendiri memperkirakan berdasar lapisan tanah yang membenamnya, tengkorak ini berusia 80.000 tahun – 100.000 tahun. Namun begitu, menyelidiki usia manusia Ngandong bukanlah persoalan mudah. Masalahnya temuan tengkorak Ngandong hampir semuanya tanpa wajah. Selain itu juga tak ditemukan adanya tulang-tulang lain, kecuali fragmen gigi. Konigswald yang meninggal dunia tahun 1982 berpendapat, hilangnya wajah manusia Ngandong diduga karena digunakan untuk mangkok dalam rangka pelaksanaan praktek mistik.

Lebih lanjut Jacob menyatakan, dengan ditemukannya usia manusia Ngandong 355.000 tahun, maka tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa homo erectus Ngandong sebagai pernah berevolusi atau lebih maju dari homo erectus lainnya. ”Jadi homo erectus Ngandong tak lebih sebagaimana ”manusia” temuan di Peking (Cina),” jeIasnya.

Menurut Jacob, dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai homo erectus ini, maka akan berkembang pula pandangan ahli paleontologi mengenai homo erectus berevolusi. Setidaknya akan timbul pertanyaan, benarkah ada manusia homo erectus yang sudah maju.

Penelitian Jacob ini juga akan berpengaruh pada penemuan fosil di Sambungmacan (Jatim), Fosil yang ditemukan Jacob sendiri dan RP Soedjono ini, diperkirakan umurnya dapat dibandingkan dengan Ngandong. Persamaan itu bila dilihat dari endapan sedimen yang menyertainya. Berubahnya usia manusia Ngandong itu juga akan mengubah usia manusia temuan Sambungmacan. (p)

Sumber: Kompas, Kamis, 6 Agustus 1992

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 26 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB