HEBOH masalah kloning domba Dolly sangat mengusik hati Dr Wildan Yatim Lubis (64), pakar genetika Universitas Padjadjaran Bandung. Sarjana biologi ITB lulusan tahun 1961 ini melihat ada implikasi dari penelitian ini terhadap kelangsungan kehidupan sejati manusia di muka bumi.
”Kalau kloning dilakukan pada hewan, saya anggap itu sebagai suatu kemajuan di bidang pengetahuan. Misalnya, kita bisa memproduksi domba dengan sifat-sifat unggul,” kata dosen genetika di Fakultas Kedokteran Unpad ini. Ia menganggap tidak akan ada gunanya kloning diterapkan pada manusia, kecuali diingini oleh orang yang bersifat totaliter, seperti Adolf Hitler atau Fidel Castro.
Wildan, yang memperoleh gelar doktor dari Fakultas Pascasarjana Unpad tahun 1988, tidak menganggap penelitian di Skotlandia sebagai kloning. Katanya, kloning akan menghasilkan individu dalam jumlah yang banyak dengan sifat atau rupa yang sama. Alasannya, ”Domba yang dihasilkan dari penelitian itu ’kan cuma satu. Klon itu bisa didapat dari satu sel telur yang sudah dibuahi sperma, lalu memperbanyak diri menjadi beberapa puluh sel”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu ia melihat domba Dolly itu sebagai eksperimen embriologi. Penelitian serupa katanya sudah pernah dilakukan terhadap katak sekitar 30 tahun yang lalu.
* * *
SEBAGAI seorang ahli genetika, ia punya pengalaman yang sangat berkesan saat meneliti penyakit kanker di Indonesia. Hasil penelitiannya mematahkan argumen bahwa penyakit kanker semata-mata disebabkan oleh virus. Padahal, tuturnya, ada faktor genetis yang menjadi penyebab penyakit kanker. Bercerita tentang perkembangan ilmu genetika di Indonesia, pencinta tanaman dan kebun ini merasa prihatin. Bayangkan, tuturnya, ”negara dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa, hanya punya ahli genetika sekitar 10 orang. Padahal, idealnya setiap rumah sakit provinsi punya lima orang ahli genetika”.
Kehidupan para peneliti -dan bukan hanya di bidang genetika juga memprihatinkan. Katanya, perhatian pemerintah sangat kurang. Para peneliti tidak bisa mengandalkan nafkah hanya dari gaji mereka. Ia tidak heran dengan banyaknya peneliti berprofesi rangkap dengan menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi swasta. Wildan sendiri berharap banyak dari honor tulisannya di berbagai media massa.
Melihat ilmu genetika yang kini semakin berkembang, ada satu kekhawatiran pada diri peraih sertifikat pengetahuan medis dari Hongkong University tahun 1981 ini, yaitu benturan antara ilmu dengan moral dan agama.
”Sebagai seorang peneliti, kita juga harus punya pegangan nilai moral dan agama yang kuat. Jika tidak, pasti akan terjadi benturan,” papar ayah dari lima orang anak ini.
Dia mencontohkan, bisa saja sebuah penelitian menghasilkan teori yang sangat bertentangan dengan agama. Katanya, di Amerika Serikat dan Eropa, banyak peneliti dan ilmuwan yang tidak percaya akan adanya Tuhan.
Sebagian orang mungkin juga mengenal nama Wildan Yatim sebagai seorang sastrawan yang produktif. Beberapa bukunya yang banyak mendapat perhatian dari kritikus sastra antara lain kumpulan cerpen Selandang (Balai Pustaka, 1990), dan tiga buah novel , Pergolakan (Pustaka Jaya, 1972), Petualangan Tam (Femina, 1987), dan Mengarungi Badai (Femina, 1989). Bahkan Pergolakan pernah memperoleh hadiah ketiga pada “Tahun Buku Internasional” tahun 70-an di Jakarta.
Kepiawaian Wildan dalam bersastra sudah dimulai sejak SMP di Sumatera Barat, sat ia berhasil meraih juara mengarang tingkat kabupaten. Dia merasa punya kemampuan dalam bidang menulis. Bahkan, profesi sebagai seorang pengajar yang dilakoninya selama in, sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya sat kecil dulu.
“Sejak kecil sebetulnya saya hanya ingin mengarang saja,” kata suami Komariah ini.
Pria yang pada tahun 1970-an dulu pernah menjadi perokok berat, namun berhenti tahun 1981 karena punya gejala penyakit jantung ini, sampai sekarang masih produktif menghasilkan tulisan-tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi. Saat ini Wildan sedang menggarap kamus istilah biologi.
”Rencananya, kamus setebal 800 halaman dan paling lengkap di Indonesia ini akan diselesaikan tahun ini juga,” kata pria kelahiran Padang Sidempuan, Sumatera Utara, pada 11 Juli 1933, yang masih kelihatan segar ini.
Hubungan antara ilmu genetika yang ditekuninya dengan hobi menulis dipandang Wildan banyak membantunya dalam mengungkapkan nilai seni dari tulisannya. Kalau dia menulis tentang daun atau pohon,misalnya, secara detil akan disebutkannya nama jenis dari daun atau pohon tersebut.
MELIHAT perkembangan dunia sastra Indonesia saat ini,Wildan merasa prihatin. Baginya, kelesuan sastra ini karena unsur materi lebih menjadi perhatian para sastrawan Indonesia.
”Mungkin kondisi ini wajar saja karena para sastrawan kita belum bisa hidup layak dari aktivitas sastranya,” tuturnya. Dia mencontohkan, dari 5.000 eksemplar buku sastra yang diedarkan, belum tentu akan habis dalam tempo lima tahun.
Namun, ada juga sesuatu yang menggembirakan baginya, yaitu berkembangnya sastra koran dewasa ini. Wildan menganggap, sastra koran bisa menjadi media alternatif karena majalah sastra yang ada seperti Horison saat ini sudah tidak bisa diharapkan. Dia tidak melihat ada penurunan mutu jika seorang sastrawan menulis di koran.
Untuk mengatasi kelesuan dunia sastra Indonesia saat ini, ia mengusulkan agar pemerintah mengambil peran aktif.
”Kalau bisa, majalah sastra yang ada disubsidi oleh pemerintah, ” sarannya.
Selain itu, dia juga mengharapkan ada penerbit besar yang bersedia membuat sebuah majalah sastra lagi. Di samping kendala tersebut, ia menilai kelesuan dunia sastra Indonesia dewasa ini disebabkan juga oleh minimnya pengetahuan para siswa sekolah tentang perkembangan yang terjadi.
”Mereka umumnya hanya tahu sastrawan-sastrawan angkatan lama, seperti Marah Roesli atau Chairil Anwar.
Sastrawan seperti saya, pasti tidak mereka kenal,” kata penggemar kucing ini. Salah satu penyebabnya adalah, tutur Wildan, tidak dibinanya perpustakaan sekolah oleh pemerintah. Padahal, dulu ada dana dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk perpustakaan guna membeli buku-buku sastra yang baru terbit.
Walaupun prihatin dengan kondisi dunia sastra sekarang, ia melihat tidak tertutup kemungkinan sastrawan Indonesia bisa go international melalui karyanya, asal ditunjang dengan semangat idealisme yang tinggi. Juga, harus ada peran swasta yang bersedia menerbitkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing.
”Kita sudah punya Pramoedya Ananta Toer, Kuntowijoyo, Mangunwijaya, atau Putu Wijaya, yang punya kans besar untuk go international. Sayang, kalau peluang ini tidak dimanfaatkan,” paparnya.Wildan tidak menunjuk dirinya termasuk salah seorang sastrawan yang punya peluang.
WALAUPUN sibuk sebagai seorang dosen, ditambah dengan kesibukan di muka komputer sebagai seorang pengarang, Wildan masih memberi perhatian yang cukup besar terhadap kondisi yang berkembang akhir-akhir ini di Indonesia.
Sebagai seorang yang pernah terlibat secara intens dalam pergolakan politik menjelang Orde Baru dulu,melalui berbagai aksi yang diikutinya dalam KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), ia merasa prihatin dan risau dengan kondisi yang terjadi sekarang.
Komentarnya; “Dalam biologi , sesuatu yang terus bekerja akan kejang. Contohnya, otot manusia itu memiliki keseimbangan, jika ada yang berkontraksi, harus ada yang rileks. Jadi, jangan sampai ada fungsi yang tidak normal. Begitu pula dalam konteks politik.” (qq/gg)
Sumber: Kompas, Senin, 14 April 1997