Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia tengah membahas usulan kebijakan OpenBTS yang diusulkan para pegiatnya. Substansi pembahasan mengarah pada perlu-tidaknya regulasi baru yang mengakomodasi implementasi OpenBTS.
“Kami mendiskusikan pula rencana penyesuaian peraturan lama,” ujar komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Taufik Hasan, yang dihubungi Kompas, Senin (21/3), di Jakarta.
OpenBTS merupakan ukuran mini (downsizing) dari pemancar (base transceiver station/BTS) reguler. Perangkat keras yang biasanya digunakan berupa universal software radio peripheral (USRP) untuk memancarkan sinyal jaringan standar seluler (GSM). Ada pula perangkat lunak Asterisk untuk menghubungkan atau interkoneksi dengan jaringan telepon lain, seperti public switched telephone network (PSTN) dan layanan telepon berbasis internet (voice over IP). Agar bisa menyelenggarakan kegiatan interkoneksi, perangkat OpenBTS harus terhubung dengan jaringan telekomunikasi seluler.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Taufik, ide penyesuaian regulasi mencakup perlunya standar teknologi yang wajib dimiliki penyedia OpenBTS.
“Ide tersebut belum final. Kami terus kaji dengan peraturan-peraturan terkait,” katanya.
BRTI mempunyai sejumlah pertimbangan. Misalnya, Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. UU ini mengatur penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi yang wajib menyediakan layanan telekomunikasi, seperti interkoneksi.
Contoh pertimbangan berikutnya adalah penggunaan frekuensi. Teknologi OpenBTS dapat digunakan di frekuensi 900 megahertz (MHz) dan 1.800 (MHz). Keduanya sudah dipakai operator telekomunikasi.
Sebelumnya, Komunitas OpenBTS di bawah praktisi teknologi informasi Onno W Purbo menyerahkan dokumen usulan kebijakan OpenBTS kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Upaya itu merupakan tindak lanjut diskusi di antara pegiat OpenBTS dan jajaran kementerian pada 7 Januari 2016.
Co-Founder Information and Communication Technology (ICT) Watch Donny BU menegaskan, teknologi OpenBTS mampu dikembangkan sendiri oleh warga Indonesia. Desakan pemakaiannya mencuat kembali takkala Google dan Telkomsel, Indosat, serta XL Axiata menandatangani nota kesepahaman pengujian teknis penggunaan Project Loon milik Google, November 2015, di Mountain View, San Francisco, Amerika Serikat. Melalui Project Loon, Google ingin menghantarkan koneksi internet yang sebelumnya tak terjamah internet akibat investasi pengembangan infrastruktur telekomunikasi mahal. Fungsi kerjanya serupa dengan OpenBTS.
Dalam dokumen usulan, OpenBTS dijelaskan sebagai teknologi dengan pendekatan open source dan open hardware. Ada tiga sasaran kebijakan strategis yang diminta, yaitu membangun potensi, meningkatkan penetrasi akses telekomunikasi, dan mewujudkan kemandirian.
“Kami berencana mewadahi OpenBTS karya lokal dengan status uji coba. Pengujian dapat dilakukan setelah dikoordinasikan dengan operator seluler,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Teknologi 5G
Secara terpisah, Presiden Direktur Ericsson Indonesia Thomas Jul menyampaikan, evolusi teknologi terus bergerak cepat sehingga berpengaruh terhadap transformasi industri keseluruhan. Di tingkat internasional, perbincangan teknologi 5G sudah mengerucut sampai ke peluncuran lisensinya pada tahun 2020.
Ericsson bahkan telah menjalin kerja sama dengan 20 operator utama di seluruh dunia untuk pengembangan dan uji coba percontohan jaringan radio 5G. Menurut rencana, kegiatan itu akan terus dilakukan selama 2016. Selain 5G, pemanfaatan internet untuk segala bidang (IoT) dan sistem penyimpanan data berbasis komputasi awan diprediksikan meningkat.
Untuk Indonesia, Ericsson sudah mendukung suplai teknologi jaringan seluler dari Telkomsel, Indosat Ooredoo, dan XL Axiata. Pada acara Mobile World Congress 2016, Ericsson resmi mengumumkan jadi mitra XL Axiata untuk teknologi Hyperscale Cloud dan Network Functions Virtualization. (MED)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2016, di halaman 18 dengan judul “Pemerintah Kaji Kebijakan OpenBTS”.