Kamis (3/3) tengah malam, Moedji Raharto (61) sibuk di ruangan kerjanya di Observatorium Bosscha di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Ia menyiapkan diri untuk bertolak ke Balikpapan, Kalimantan Timur, guna mengamati gerhana matahari total, Rabu esok.
Moedji adalah seorang astronom yang ahli dalam fisika galaksi yang aktif mengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, dan Institut Teknologi Sumatera (Itera), Lampung Selatan. Sebelum pergi selama sepekan, dia memberikan tugas kepada para mahasiswanya. Selain itu, dia juga mempersiapkan diri menjadi juri dalam cerdas cermat di bidang fisika dan astronomi tingkat SMA di Balikpapan yang digelar pekan lalu.
“Saya juga ditunjuk dalam tim untuk menyusun soal-soalnya. Saya bersama astronom yang lain membuat soal-soal untuk cerdas cermat itu agar tidak rumit. Ini bagian dari sosialisasi gerhana matahari total sekaligus untuk menumbuhkan minat anak-anak muda pada benda-benda langit,” katanya saat ditemui di Observatorium Bosscha, sebelum bertolak ke Balikpapan, Jumat pagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Moedji bersama tiga tim dari Observatorium Bosscha berangkat lebih awal ke Kaltim untuk mempersiapkan berbagai hal. Semua rangkaian pengamatan gerhana matahari total (GMT) 2016 diharapkan berjalan lancar. Tiga tim itu akan mengamati gerhana di tiga tempat, yakni Balikpapan, Penajam Paser Utara, dan Paser. “Kami fokus dengan pengamatan di Tanah Grorot, Paser,” ujarnya.
Sebelumnya, tim dari Observatorium Bosscha telah mengunjungi Balikpapan untuk menggelar sosialisasi dan supervisi khusus terkait GMT ke pemerintah daerah dan lembaga pendidikan. Ini bagian dari program pengenalan masyarakat terhadap perkembangan astronomi, di samping melakukan eksperimen dan penelitian.
Teleskop
Menurut Moedji, sejumlah sekolah di Balikpapan telah memiliki teleskop. Itu patut disyukuri karena masih banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki alat tersebut. Dari sosialisasi di Kampus Itera, misalnya, sekitar 200 siswa SMA dari 39 sekolah memberikan kesaksian, umumnya sekolah mereka tidak mempunyai teleskop.
Padahal, di era modern ini, seharusnya teleskop sudah menjadi kebutuhan umum, seperti halnya telepon pintar. Sekolah perlu memiliki teleskop yang bagus dan mudah digunakan agar siswa senang memanfaatkannya. Setidaknya mereka dapat turut melakukan patroli langit, yaitu mengenal obyek di angkasa. “Dunia astronomi perlu diperkenalkan kepada masyarakat sejak dini karena fenomena langit bermanfaat bagi kehidupan di Bumi, seperti untuk pariwisata, pendidikan, budaya, juga spiritualitas,” katanya.
Moedji mengatakan, para astronom di Indonesia telah mendorong masyarakat agar mengamati GMT dengan aman. Salah satunya dengan melihat gerhana dengan kacamata khusus. Alat itu menggunakan prinsip optik (metode pemantulan cahaya), yang terbuat dari bahan kaca. Dengan proses pemantulan itu, intensitas cahaya bisa tereduksi, tetapi citra matahari tetap terlihat besar, dan aman bagi mata. Alat tersebut asli dari Indonesia, yang dibuat tahun 1995 oleh Prof Andrianto Handojo (almarhum) dari Departemen Teknik Fisika ITB.
Moedji juga mendorong masyarakat agar jangan melewatkan gerhana sebagai fenomena alam yang luar biasa. Jangan sampai terulang peristiwa GMT pada 11 Juni 1983. Saat itu masyarakat justru takut keluar rumah, mengunci diri, bahkan rumah-rumah malah ditutupi koran.
“Momentum ini sayang sekali kalau dilewatkan, tanpa ada eksplorasi. Di setiap gerhana pasti ada keunikan, apakah itu akan terlihat korona, material yang terlontar dari matahari, bentuknya akan seperti apa, itu belum diketahui. Fenomena ini menjadi sarana pembelajaran yang berharga bagi generasi muda,” ujarnya.
Menurut Moedji, selama tahun 2016 ini akan berlangsung dua gerhana matahari, yaitu gerhana matahari total pada 9 Maret 2016 dan gerhana matahari cincin (GMC) pada 1 September 2016 (yang melewati Afrika). Kedua gerhana matahari itu akan berselang waktu enam bulan. Pada abad ke-21 ini terdapat 224 gerhana matahari (GM), yang terdiri dari 77 gerhana matahari sebagian (GMS), 68 GMT, 72 GMC, dan 7 gerhana matahari hibrida (GMH). GMT 2016 merupakan gerhana matahari ke-33 di abad ke-21 atau GMT ke-9 di abad ke-21. GMT 2016 merupakan jalur GMT yang pertama melewati Indonesia di abad ke-21.
Selama abad ke-21, ada lima jalur GMT yang melewati wilayah Indonesia. Itu meliputi GMT 2016, kemudian 20 April 2042 (melewati Jambi), GMT 12 September 2053 (jalur melewati Nusa Tenggara Barat), GMT 22 Mei 2096 (melewati Bandar Lampung), dan GMT 24 Agustus 2098 (melewati Medan). “Jadi, GMT 2016 merupakan fenomena langka bagi masyarakat Indonesia, apalagi tidak semua ibu kota provinsi di Indonesia dilalui gerhana ini,” ucapnya.
Minat sejak SMA
Moedji kerap menulis tentang gerhana, kalender Islam, dan kalender Masehi. Minat terhadap dunia astronomi tumbuh dalam dirinya saat bersekolah di SMA Negeri 3 Surabaya, Jawa Timur. Ketika itu, dia tertarik pada penjelasan seorang guru ilmu falak tentang posisi tahunan matahari dan gerhana.
“Saya mulai tertarik karena ternyata alam semesta itu bisa dipelajari. Saya terdorong untuk melihat benda-benda langit dengan teropong. Ketika lulus SMA, saya memilih astronomi di ITB. Pertimbangannya sederhana saja. Astronom itu langka, pasti lulusannya banyak dicari, baik di dalam maupun luar negeri,” ujarnya.
Moedji meraih gelar doktor bidang astronomi dan astrofisika tahun 1997 di Universitas Tokyo, Jepang. Pada tahun 1999 sampai 2004, dia dipercaya sebagai Kepala Observatorium Bosscha. Pada tahun 2010, namanya digunakan untuk menyebut asteroid di Sabuk Utama Asteroid, yakni 12177 Raharto. Penghargaan dari International Astronomical Union (IAU) itu diterima Moedji bersama tiga astronom Indonesia, yakni Bambang Hidayat, Dhani Herdiwijaya, dan Taufiq Hidayat.
Kembali ke GMT 2016. Menurut Moedji, hasil pengamatan atas fenomena alam itu akan merekam berbagai informasi, temuan, dan data. Semua itu berharga bagi generasi muda, khususnya dalam mengeksplorasi langit dengan segala isinya.
Moedji berharap dunia astronomi semakin maju dengan teknologi tinggi. Dia membayangkan bakal ada prototipe robotik teleskop yang dapat ditempatkan di puncak gunung untuk mengamati benda-benda di langit yang cerah. Namun, untuk itu diperlukan investasi dalam sumber daya manusia dan pembiayaan.
“Perkembangan pengetahuan astronomi juga harus menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Jangan sampai zaman sudah sangat modern, tetapi pengetahuan masyarakat kita tertinggal puluhan tahun. Astronomi harus menjadi pengetahuan umum yang diperkenalkan secara estafet sejak pendidikan tingkat menengah, atas, sampai perguruan tinggi,” katanya.
LAHIR: Blitar, 8 November 1954
PENDIDIKAN:
S-1 bidang Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), lulus tahun 1980
S-3 bidang Astronomi dan Astrofisika Universitas Tokyo, lulus tahun 1997
PEKERJAAN:
Kepala Observatorium Bosscha 1999-2004
Dosen ITB dan Institut Teknologi Sumatera (Itera), Lampung Selatan, sampai saat ini
PENGHARGAAN:
Mendapat kehormatan dari International Astronomical Union (IAU) tahun 2010; nama Raharto diberikan untuk sebuah asteroid
SAMUEL OKTORA
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Maret 2016, di halaman 16 dengan judul “Membumikan Astronomi”.