Perilaku Membaca secara Instan Timbulkan Sikap Pragmatis
Karut-marut birokrasi pemerintahan dari pusat hingga daerah selama ini diduga cerminan dari tumpulnya daya analitik lembaga pemerintah akan kebutuhan warga. Situasi ini bisa lebih parah jika generasi sekarang tidak terbiasa kritis akibat minimnya kesadaran literasi.
Demikian pandangan pemerhati pendidikan Doni Koesoema dan Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Pendidikan Indonesia Andreas Tambah ketika dihubungi secara terpisah, Kamis (4/2), di Jakarta. Keduanya menanggapi minimnya minat baca siswa terhadap buku teks di tengah era multimedia (Kompas, 4/2).
Doni menekankan perlunya sikap kritis dalam memaknai bacaan. Kebiasaan mendapat serpihan-serpihan informasi melalui dunia maya cenderung membuat seseorang tidak kritis. “Hakikat dari literasi adalah kemampuan menafsirkan dan memaknai wacana secara utuh,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kemampuan seseorang memahami dan menginterpretasi persoalan dengan baik, menurut Doni, merupakan modal bagi membangun peradaban yang yang lebih baik.
“Proses pemahaman dan pemaknaan informasi dalam sebuah narasi hanya bisa dilakukan jika seseorang berdaya nalar dan logika yang baik. Sementara kemampuan nalar perlu diasah melalui membaca dan diskusi,” ujarnya.
Andreas mengingatkan risiko dari perilaku instan mencari informasi di dunia maya. Kebiasaan tersebut akan merusak daya analisis serta menurunkan kemampuan seseorang untuk berpikir terstruktur dan sistematis.
Menurut Andreas, kegiatan membaca untuk memahami dan memaknai wacana secara utuh akan merangsang daya analisis. Kemampuan itu menjadi modal seseorang dalam pengambilan keputusan.
“Orang yang buruk daya analisisnya biasanya akan kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebaliknya, orang yang berkemampuan analisis baik cenderung mampu mengelola permasalahan yang dihadapi,” ujarnya.
Berbagai alternatif solusi penyelesaian terinspirasi dari naskah yang dibaca secara utuh.
Sosiolog Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anas Saidi, menuturkan, di saat yang bersamaan kondisi tersebut mengikis rasa ingin tahu siswa. Keadaan tersebut dalam jangka panjang menciptakan pendangkalan berpikir dan kemiskinan wawasan pada siswa.
Anas mengaitkan kondisi tersebut dengan bonus demografi di Indonesia. Jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan terus bertambah hingga tahun 2018-2031. Budaya baca yang rendah berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia berkepanjangan.
“Bertambahnya jumlah penduduk usia produktif harus diimbangi dengan produktivitas yang tinggi. Jika tidak, Indonesia akan kalah bersaing dibandingkan dengan negara lain,” tuturnya.
Pragmatis
Anas mengatakan, kebiasaan memperoleh informasi secara instan menumbuhkan sikap pragmatis. Di masa mendatang, siswa dikhawatirkan mengejar capaian tanpa mementingkan proses. “Produktivitas dibentuk dari pola pikir dan perilaku siswa. Proses membaca menjadi titik mula menciptakan sumber daya manusia yang memiliki keunggulan kompetitif,” kata Anas.
Bonus demografi terjadi saat 100 orang usia produktif menanggung kurang dari 50 orang usia tidak produktif. Puncak bonus demografi Indonesia adalah tahun 2028-2031 saat 100 orang usia produktif menanggung 46,9 orang tidak produktif (Kompas, 5/5/2015). (C05/C06)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Februari 2016, di halaman 12 dengan judul “Daya Nalar Menumpul”.