Calon produk sel punca pertama Indonesia untuk terapi osteoartritis siap masuk tahap uji praklinis, yakni diterapkan pada hewan coba. Targetnya, produk diujicobakan pada manusia pertama kali pada September mendatang.
“Sel punca ialah masa depan kita bidang kesehatan,” ucap Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir saat mengunjungi Stem Cell and Cancer Institute (SCI) milik PT Kalbe Farma, Rabu (6/1), di Jakarta. Jika sel punca sebagai bahan obat diproduksi sendiri, ketergantungan Indonesia pada bahan baku obat impor berkurang sehingga terapi kian terjangkau masyarakat.
Acara itu dihadiri Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ratna Sitompul, pendiri Kalbe Boenjamin Setiawan, dan Presiden Direktur Kalbe Farma Irawati Setiady.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sel punca (stem cell) ialah sel tubuh yang bisa memperbaiki kerusakan jaringan tubuh. Sel punca antara lain untuk terapi osteoartritis (kerusakan tulang rawan pada sendi), diabetes melitus, dan penyakit jantung.
Peneliti utama pada SCI, Indra Bachtiar, memaparkan, SCI bekerja sama dengan sejumlah lembaga dalam mengembangkan sel punca untuk terapi osteoartritis di laboratorium SCI. Sel punca itu siap diuji praklinis.
Karena merupakan sel punca allogeneic atau bukan dari tubuh pasien, sel punca yang dikembangkan diwajibkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk diuji praklinis dan klinis. Uji praklinis selama enam bulan itu akan dijalankan Institut Pertanian Bogor memakai tikus dan domba sebagai hewan coba.
Sel punca akan masuk tahap uji klinis atau uji coba pada manusia fase pertama September 2015. Itu bekerja sama dengan 11 rumah sakit nasional yang ditetapkan Kementerian Kesehatan untuk melayani terapi sel punca, termasuk Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo.
Di sejumlah negara, terapi sel punca membantu penebalan tulang rawan lutut. Meski tak ada efek samping, terapi bisa tak berdampak. Padahal, harga sel punca di luar negeri Rp 3 per sel. Terapi osteoartritis, misalnya, butuh 10 juta sel per lutut sehingga biaya mencapai Rp 30 juta.
Karena melibatkan banyak pihak, hasil riset ini milik nasional. “Produk sel punca pertama Indonesia bisa terdaftar di BPOM dan dikomersialkan pada 2019,” kata Indra. (JOG)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “September, Sel Punca Diuji pada Manusia”.
———–
Indonesia Tidak Boleh Ketinggalan di Riset Sel Punca
Indonesia terus tertinggal dalam bidang riset, termasuk dalam bidang obat dan kesehatan. Salah satu indikasinya, hampir 92 persen bahan baku pembuatan obat berasal dari luar negeri, yang berdampak pada mahalnya harga obat bagi rakyat.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Para peneliti memproses pengembangan sel punca di laboratorium Stem Cell and Cancer Institute milik Kalbe, Rabu (6/1), di Jakarta. Sel punca sangat berpotensi menjadi bahan baku terapi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, diabetes melitus, dan osteoarthritis.
Kini, peluang untuk mengatasi ketertinggalan tersebut ada pada kemampuan mengembangkan sel punca untuk terapi sejumlah penyakit. Sebanyak 11 rumah sakit saat ini menjadi tempat riset terapi sel punca di Indonesia.
“Kemandirian bahan baku diharapkan membuat obat semakin murah untuk rakyat,” ujar Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir saat mengunjungi Stem Cell and Cancer Institute (SCI) di Jakarta, Rabu (6/1). Hadir dalam acara itu Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi serta pendiri Kalbe, Boenjamin Setiawan. SCI merupakan laboratorium milik Kalbe, yang salah satu kegiatan mengkaji pengembangan terapi sel punca.
Nasir berpendapat, dengan bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia, pengembangan terapi sel punca akan sangat dibutuhkan mengingat salah satu manfaat sel punca adalah terapi penyakit-penyakit degeneratif. Kemajuan riset sel punca perlu dikejar agar Indonesia tidak makin tertinggal di bidang tersebut. Negara-negara lain sudah memacu riset sel punca, antara lain Iran, Korea Selatan, Tiongkok, Malaysia, dan Singapura.
Direktur SCI Sandy Qlintang menambahkan, di dunia belum ada riset allogeneic stem cell, sel punca yang bukan dari tubuh pasien sendiri, yang sudah mencapai tahap komersialisasi. Karena itu, kesempatan masih terbuka lebar bagi para peneliti Indonesia untuk bersaing di bidang sel punca.
Perlu kolaborasi
Bambang menyatakan, untuk mempercepat capaian dalam riset sel punca, peneliti di Indonesia perlu berkolaborasi, bukan bersaing. Karena itu, ia merekomendasikan pembentukan konsorsium riset sel punca. “Dengan izin dari Menteri Ristek dan Dikti, tahun ini DRN akan memfasilitasi pembentukan konsorsium. DRN juga memfasilitasi seminar nasional sel punca,” kata Bambang.
Sementara itu, Boenjamin memandang, biaya riset bidang kesehatan sangat besar, apalagi jika sudah memasuki tahap uji praklinis pada hewan dan uji klinis pada manusia. Untuk mendorong minat swasta pada bidang riset, pemerintah perlu memberikan insentif, salah satunya berupa pengurangan pajak.
Nasir menuturkan, pihaknya sudah membicarakan permintaan pengurangan pajak kegiatan riset kepada Kementerian Keuangan. Ia berharap skema pengurangan pajak riset bisa berjalan pada tahun 2016 sehingga menarik minat semakin banyak perusahaan untuk membiayai penelitian.
Terkait riset sel punca SCI, sejak berdiri pada 2006, lembaga ini aktif terlibat dalam riset matrik tali pusat sebagai sumber baru sel punca mesenkimal. Hasil penelitian akan menjadi dasar upaya selanjutnya untuk mengkaji aspek-aspek klinis bagi terapi penyakit kardiovaskuler serta penyakit degeneratif lainnya.
SCI juga memiliki Regenerative and Cellular Therapy (ReGeniC) yang melayani pemrosesan sel punca dalam klinik untuk kebutuhan terapi sejumlah penyakit. ReGeniC kini fokus pada terapi untuk osteoarthritis, yaitu penyakit akibat kerusakan atau hilangnya tulang rawan pada sendi, terutama pada lutut.
J GALUH BIMANTARA
Sumber: Kompas Siang | 6 Januari 2016