”Tengkorak”. Judul film mengerikan itu bukan horor, melainkan fiksi ilmiah karya sivitas akademika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dengan dana ”bantingan” yang disisihkan dari gaji para dosen, setelah empat tahun berproses, film itu akhirnya rampung.
Film berdurasi 130 menit ini akan mewakili Indonesia di Cinequest Film and Virtual Reality Festival 2018 di Silicon Valley, California, Amerika Serikat, Maret mendatang. Yusron Fuadi, sutradara film Tengkorak itu ternyata dosen sekolah vokasi UGM, sekolah yang berorientasi pada penerapan ilmu untuk menyelesaikan problem secara praktis.
Sebelumnya, film itu juga mendapat kehormatan tayang dalam Jogja-NETPAC Asian Film Festival, awal Desember lalu. Dekan Sekolah Vokasi UGM Wikan Sakarinto menyatakan, film Tengkorak menjadi ajang pembuktian sekolah vokasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peran Yusron dominan dalam film tersebut. Selain sebagai sutradara, ia juga menulis skenario serta ikut sebagai pemain dan produser.
Film Tengkorak bercerita tentang misteri penemuan fosil tengkorak berumur 170.000 tahun di Pulau Jawa. Ukuran tengkorak itu tidak biasa, tingginya mencapai 1.800 meter. Penemuan tersebut menimbulkan kebingungan dan perdebatan di antara para ilmuwan dan pemuka agama. Kisah dibalut dengan perjalanan seorang gadis yang bertekad mengungkap misteri di balik penemuan fosil tersebut.
Dosen yang lahir tahun 1983 ini terobsesi membuat film sejak kecil. Khusus untuk ide awal film Tengkorak, Yusron mengaku gagasan dimulai ketika dia berusia sembilan tahun. ”Waktu itu, saya ikut pengajian dan menemukan tema besar film itu, intinya janganlah membuat kerusakan. Saya ubah menjadi tidak bersifat agama, menjadi cerita fiksi ilmiah gaya film ala George Lucas, Steven Spielberg, dan James Cameron,” ujarnya.
Apalagi dalam perjalanan waktu, Yusron lalu mengenal film Star Wars. Saat anak-anak lain senang dengan sepak bola, Yusron terus saja mengkhayal bagaimana rasanya bisa membuat film seperti perang bintang itu.
”Sejak usia sembilan tahun, saya sudah tahu harus bisa menjadi sutradara film. Saya enggak tahu caranya karena tidak ada saudara atau keluarga yang bekerja di dunia film, pokoknya harus bikin film satu atau dua sedikitnya,” ujar dosen yang menyukai hal-hal yang sulit ini.
Mengejar mimpi
Untuk mewujudkan mimpinya, ia kuliah di Jurusan Televisi Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Ia mengaku, saat kuliah, dirinya menjadi mahasiswa yang apatis, membuat karya hanya untuk mengejar nilai, masih belum tahu ke depan akan berbuat apa.
”Kemudian sesuatu yang sangat penting terjadi dalam fase kehidupan, yaitu gempa Yogya tahun 2006. Rumah ambruk, padahal waktu itu mau kuliah S-2. Jadi, enggak ada dana buat S-2 karena semua uang untuk memperbaiki rumah,” kenangnya. Keinginan untuk melanjutkan studi tetap kuat. Ia mencari akal: bekerja di kapal.
Berbekal pendapatan kerja di kapal pesiar selama tiga tahun di Amerika, Yusron akhirnya bisa menyelesaikan Magister Penciptaan Videografi di ISI pada 2013. ”Kerja di kapal Amerika, banyak hal yang diperoleh. Setiap hari kerja mulai pukul 5 pagi sampai pukul 11 malam. Hidup jadi disiplin. Kalau punya keinginan dalam hidup, harus ngeyel, gigih, persistent. Kembali ke Yogya, lalu kuliah lagi dan menjadi asisten dosen di vokasi UGM,” katanya.
Di sela-sela kesibukan di kapal yang berbasis di Florida, Amerika Serikat, itu ia menyempatkan diri membuat film dokumenter tentang dirinya yang berjudul Young Man and The Sea. Film dokumenter itu mendapat kehormatan diputar di sejumlah forum sinema internasional dan menang dalam Festival Film Dokumenter tahun 2012.
”Dari sini mulai tumbuh rasa percaya diri, bahkan sebuah cerita personal ternyata bisa diekspresikan dalam bentuk film. Ini mengingatkan obsesi lama untuk membuat film layar lebar,” tuturnya.
Dia lalu membuat film pendek bergenre fiksi ilmiah dengan judul Pendekar Kesepian yang berdurasi 24 menit dalam satu pengambilan gambar. Film itu diputar di Belanda dan Singapura. ”Saya berkata kepada diri sendiri ’kamu enggak boleh berhenti menantang diri sendiri, saatnya bikin film panjang’.”
Tahun 2013, Yusron mulai menulis naskah film Tengkorak. Saat menulis naskah film, ia tidak pernah membatasi imajinasinya. Dia mengalirkan tulisan sebebas-bebasnya termasuk soal biaya, waktu shooting, dan bagaimana membuat efek visual. ”Saya ingin membuat film yang susah dibuat, enggak ingin film minimalis, misalnya tentang kejadian yang ada di rumah saja. Saya ingin membuat film yang saya bayangkan waktu kecil dulu,” ungkapnya.
Perlu waktu setahun untuk menulis naskah Tengkorak. Ia ingin segera diadakan pengambilan gambar. ”Jika menunggu produser besar, malah film enggak akan selesai. Saya memulai shooting berbekal tabungan Rp 2 juta dan gaji Rp 1,8 juta sebagai dosen. Shooting hari pertama dimulai dalam keadaan kamitidak tahu apakah ada kelanjutan shooting hari-hari berikutnya,” ujarnya.
Uang ”bantingan”
Yusron beruntung. Kegaduhan studio film yang terletak di salah satu ruang kuliah sekolah vokasi UGM menarik perhatian Dekan Wikan Sakarinto yang lantas bergabung dan kemudian mengajak dosen-dosen lain. Biaya, tenaga, dan fasilitas lain menjadi lebih ringan dan mudah meski dalam jumlah terbatas. Lewat pergaulan dengan sutradara senior Garin Nugroho dan Hanung Bramantyo, pengetahuan perfilman Yusron semakin meningkat.
Namun, diakui Yusron, sumber ilmu paling banyak ia timba dari bonus DVD tentang pembuatan film (DVD the making of the film). Dia kadang-kadang lebih banyak menonton bonus cakram pembuatan film daripada filmnya sendiri.
Tengkorak sebagai film fiksi ilmiah tentu menggunakan trik efek visual untuk melukiskan adegan yang sulit dibuat secara riil. Meski demikian, Yusron berusaha sedapat mungkin membuat film secara nyata, seperti adegan tokoh utama dalam film tersebut berjalan di atas puncak Gunung Himalaya. Dia bersama pemain dan awak film benar-benar mendaki gunung meski bukan gunung yang ada di Tibet itu.
”Kami naik ke puncak Merapi, berangkat sore, sampai puncaknya pukul 06.00, dan harus cepat-cepat ambil gambar karena kabut segera turun. Adegan yang dipakai hanya 25 detik, itu pertama kali naik gunung dan mungkin yang terakhir,” paparnya.
Sebenarnya jika memakai efek visual, adegan itu mudah dibuat. ”Saya tidak mau karena kalau bisa susah, kenapa cari jalan yang mudah,” kata Yusron sambil tertawa menderai.–BAMBANG SIGAP SUMANTRI
Sumber: Kompas, 13 Januari 2018