Sejauh-jauhnya bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga. Begitulah kira-kira perjalanan hidup Wahyu Yoga Pratama. Selama bertahun-tahun merantau di negeri orang, ia akhirnya memilih pulang ke Tanah Air dan memajukan desa tempat asalnya. Meski untuk itu, ia kehilangan gaji ratusan juta rupiah dan segala kenyamanan hidup yang sudah ia genggam.
Saat ini, Wahyu telah jauh dari gemerlap kehidupan kota-kota besar dunia. Ia tidak lagi menghabiskan waktu di udara dengan berbagai maskapai penerbangan kelas dunia. Kini ia lebih sibuk di tanah kelahirannya, Desa Klirong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Desa itu terasa sepi, bahkan sebelum matahari terbenam. Kontras dengan suasana di beberapa kota besar di Indonesia yang justru semakin ramai dan gemerlap begitu malam tiba. Satu–satunya yang membuat desa itu “ramai” adalah suara deru mesin bus antar kota antar provinsi yang sering melintasi Jalan Raya Kebumen–Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sepinya Desa Klirong dan desa-desa lainnya di Kebumen juga tidak lepas dari banyaknya pemuda yang lebih memilih bekerja di daerah lain seperti Kabupaten Banyumas, DI Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta. Maklum, lapangan pekerjaan di Kebumen tidak banyak.
ARIS SETIAWAN YODI–Wahyu Yoga Pratama saat ditemui Kompas di Jakarta, Senin (2/4/2018)
Sejak 2010, Wahyu berusaha menarik beberapa pemuda Kebumen yang bekerja di kota lain. Pada awalnya, ia menarik lima pemuda Kebumen yang bekerja di Kota Bandung, Jawa Barat sebagai penyablon pakaian. Wahyu mengajak kelima pemuda itu untuk membuat usaha sablon di Kebumen.
Saya ingin Kebumen ramai oleh para pemuda yang bekerja di kampung halamannya sendiri
Untuk mewujudkan usaha itu, Wahyu menyewa sebuah rumah, menyediakan alat sablon, komputer, dan jaringan internet untuk pemasaran secara daring. Semua biaya diambil dari kocek pribadinya. “Saya ingin Kebumen ramai oleh para pemuda yang bekerja di kampung halamannya sendiri,” ujar Wahyu, Senin (2/4/2018).
Wahyu ingin Kebumen menjadi tempat produksi, sementara pemasarannya mesti ke luar kabupaten itu. Ia tidak mau mengandalkan pasar di Kebumen karena jumlahnya tidak seberapa.
Agar produk-produk dari Kebumen–apapun bentuknya–bisa dipasarkan ke daerah lain, Wahyu melatih 50-60 warga Kebumen agar “melek digital”. Kepada warga yang telah memiliki usaha, ia mengajarkan bagaimana memanfaatkan media sosial sebagai alat pemasaran. Ia mengajari bagaimana memahami layanan search engine optimization (SEO). Kepada pemuda yang belum punya usaha, Wahyu melatih keterampilan menulis di blog. Syukur-syukur mereka nanti bisa menjadi copywriter.
Selain memberikan pelatihan terkait dunia digital, Wahyu berusaha mendorong warga Desa Klirong beternak dengan sistem plasma. Pada 2014, ia memberikan tiga orang warga masing-masing 10 ekor kambing yang beratnya 15 kilogram. Setelah digemukkan selama enam bulan hingga menjadi 30 kilogram, Wahyu membeli kambing yang diberikan secara gratis itu.
Sejauh ini, Wahyu telah memberikan 90 kambing kepada warga desa untuk digemukkan. Pemberian kambing selanjutnya terpaksa ditunda karena keterbatasan keuangan. “Modalnya terbatas, harus pelan–pelan juga meningkatkan jumlah kambing. Tunggu profit yang didapat setiap enam bulan,” ujar Wahyu.
Ahli IT
Sebelum pulang ke desa, kehidupan Wahyu sungguh berbeda. Ia dulu adalah seorang tenaga ahli di bidang teknologi informasi. Sejak 1997, ia meninggalkan Indonesia untuk menekuni bidang ilmu terapan di Nanyang Technological University, Singapura. Setelah lulus pada 2002, ia sempat mendirikan perusahaan rintisan IT di Singapura. Dua tahun kemudian, ia memutuskan bergabung dengan ST Electronics Singapore–perusahaan di bawah naungan ST Engineering milik Singapura yang bergerak di bidang pertanahan, antariksa, elektronik, dan maritim.
“Pada 2006 saya mulai intens ditawari kewarganegaraan (Singapura) oleh presiden direktur saya, karena status saya yang WNI membuat saya tidak bisa naik jabatan. Proyek rahasia negara seperti teknologi pertanahan juga tidak bisa saya kerjakan. Jabatan terakhir saya di sana, manager teknik, empat tingkat di bawah jabatan presiden direktur,” tutur Wahyu.
Hingga tahun 2010, Wahyu telah memimpin berbagai proyek ST Electronics di berbagai negara seperti Cina, Hongkong, Qatar, Turki, dan lain-lain. Waktu tidurnya lebih banyak di atas langit saat berada di dalam pesawat.
Pada 2010 saat di dalam pesawat, tiba-tiba terlintas di pikiran saya kalau pesawat ini jatuh, apa yang bisa saya pertanggungjawabkan kepada negara saya
“Pada 2010 saat di dalam pesawat, tiba-tiba terlintas di pikiran saya kalau pesawat ini jatuh, apa yang bisa saya pertanggungjawabkan kepada negara saya. Apa yang sudah saya perbuat bagi negara saya?” kenangnya.
Setelah kejadian itu, Wahyu mengundurkan diri dari ST Eletronics. Ia mencari pekerjaan lain dengan tingkat kesibukan yang lebih rendah agar setiap pekan bisa pulang ke Kebumen untuk menjalankan program sosial. Ia mendapat pekerjaan sebagai consultan manager di sebuah perusahaan elektronik di Singapura.
Pada 2011, Wahyu bekerja di Microsoft, raksasa teknologi asal Amerika Serikat. Ia mengambil pekerjaan itu karena ia tidak diwajibkan bekerja di kantor. Sebagai senior project manager di Asia Tenggara dan beberapa pasar baru (India, Sri langka, dan lain-lain), Wahyu hanya diwajibkan bekerja di sebuah tempat yang bisa menjangkau bandara-bandara di negara-negara yang menjadi tanggung jawabnya, dalam satu jam penerbangan. Ia pun memilih berkantor di sekitar Yogyakarta dan Jakarta.
ARIS SETIAWAN YODI–Wahyu Yoga Pratama saat ditemui di Jakarta, Senin (2/4/2018).
Pada 2013, ia dipromosikan untuk menjadi senior program manager di Center of Excellence Microsoft, Kantor Pusat Microsoft, di Seattle, AS. Ia mulai menangani proyek transformasi sistem penyimpanan konvensional ke server cloud di negara–negara Asia. Dalam lima hari, ia bisa mengunjungi empat negara.
Rutinitas itu membuat ia kembali jauh dari Indonesia. Akhirnya pada 2014, ia mengundurkan diri dari Microsoft dan kembali ke desa. “Saya sudah sering melihat banyak kota kecil di dunia yang bisa maju karena kegiatan usaha masyarakatnya bergeliat, misalnya Redmond, Seattle. Kenapa Kebumen tidak bisa? Mengubah Kebumen bisa dimulai dari gerakan kecil,” tutur Wahyu.
Beberapa bulan berkegiatan di Indonesia, ia kembali ditawari bekerja di salah satu perusahaan internasional asal Singapura sebagai regional manager IT dengan gaji pokok 15.000 dolar Singapura per bulan. Namun, ia menolaknya.
Ia teringat lukisan besar Soekarno yang terpampang di ruang tamu rumahnya saat dia masih kecil. Lukisan itu dibubuhi tulisan, “Saya titipkan bangsa ini kepadamu”. Kalimat itu membekas dalam ingatan Wahyu, dan meneguhkan sikapnya untuk memilih Indonesia, memilih membangun desa tercintanya.
Wahyu Yoga Pratama
Lahir: Kebumen 29 Juni 1979
Istri: Susana
Anak: Aisha Calista Pratama, Aditya Ahsan Pratama
Pendidikan:
– SDN Klirong 1
– SMPN Klirong
– SMA Taruna Nusantara
– Bachelor of Applied Science (BASc) Nanyang Technological University, Singapore
DD14
Sumber: Kompas, 5 April 2018