Vaksin Itu Bukan Makanan

- Editor

Senin, 10 September 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam artikelnya (Kompas, 24/8/2018), Sampurno mengingatkan agar ke depan, MUI dalam memutuskan kehalalan vaksin, obat, atau apa pun yang berguna bagi kemaslahatan orang banyak seyogianya tidak semata-mata merujuk pada dalil fikih, tetapi juga mengkaji perkembangan bioteknologi dan telaah ulama di banyak negara. Tulisan ini terkait dengan keluarnya Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang kehalalan vaksin Measles-Rublle (MR).

Jika dicermati, fatwa MUI terhadap vaksin MR menggunakan pendekatan dlarurat syar’iyyah, bahwa vaksin boleh digunakan sampai tersedia vaksin yang diproduksi dari bahan halal.

Cara penyampaian fatwa ini dinilai kurang tepat karena semua diktum disampaikan secara terbuka. Seharusnya pendekatan dlarurat syar’iyyah disampaikan secara tertutup kepada pemangku kepentingan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tujuan utama pemberian vaksin atau imunisasi adalah mencegah serta menurunkan morbiditas penyakit strategis, sekaligus memutus rantai penularannya di masyarakat (herd immunity). Imunisasi merupakan cara yang sangat efisien dan efektif karena murah, mudah, dan ampuh.

Tujuan utama pemberian vaksin atau imunisasi adalah mencegah serta menurunkan morbiditas penyakit strategis, sekaligus memutus rantai penularannya di masyarakat (herd immunity).

KOMPAS/FABIO COSTA–Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ( P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Aaron Rumainum, saat menunjukkan vaksin di Gedung Imunisasi Dok II, Kota Jayapura, Jumat (20/7/2018).

Jika tidak divaksin, seseorang tidak hanya tidak bisa melindungi diri terhadap infeksi, tetapi juga bisa menjadi sumber penular penyakit tersebut.

Perlindungan masyarakat terhadap ancaman penyakit merupakan tanggung jawab negara. Oleh karena itu, diperlukan suatu institusi negara yang mengelola kebijakan vaksin dan imunisasi pada tahap hulu. Salah satunya dengan membentuk Dewan Vaksin Nasional (DVN) langsung di bawah presiden. Di dalamnya terdapat unsur-unsur Kemenkes, BPOM, MUI, Kemenhan, BIN, Kemenristek-Dikti; BPPT, dan kelompok profesional seperti ITAGI (Indonesian Technical Advisory Goup on Immunization), serta PT Bio Farma sebagai BUMN industri vaksin nasional.

Segala aspek pervaksinan menjadi tugas pokok DVN ini, termasuk menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi. Rancangan vaksin yang akan digunakan pun dibicarakan bersama.

Masyarakat hanya mendapatkan satu informasi dari negara, yang dikeluarkan DVN atas nama presiden. Dengan demikian, seperti di negara-negara lain, Indonesia bisa menerapkan aturan tegas. Jika ada yang menghalangi vaksinasi akan ditangkap dan diadili. Demikian juga jika ada kasus vaksin palsu seperti beberapa waktu lalu, penerapan hukum dan penyidikan mendalam bisa direkomendasikan oleh DVN.

Kompleksitas vaksin
Rekomendasi fatwa MUI untuk mengupayakan produksi vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Sangat disayangkan jika ada pihak yang mengatakan bahwa menyiapkan vaksin halal itu mudah.

Salah satu contoh, meski WHO merekomendasikan vaksin MR bisa dikembangkan pada embrio ayam, tidak otomatis embrio itu tinggal dipotong-potong, disaring, lalu vaksinnya siap.

Produksi vaksin biasanya dimulai dari studi pendahuluan meliputi jenis penyakit yang akan divaksin. Dalam hal ini PT Bio Farma telah menggagas pertemuan tahunan dalam bentuk Forum Riset Life Science Nasional (FRLN), pengembangan dari Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN). Pertemuan tahun ini pada 13 September 2018.

Dalam studi pendahuluan juga dijajaki, dari mana bibit vaksin bisa diperoleh. Saat ini belum banyak bibit vaksin nasional yang betul-betul siap diproduksi.

Selanjutnya menentukan kualitas vaksin yang akan dibuat, quality by design. Biasanya sudah ada formulasi adjuvant, aplikasi injeksi atau tetes mulut, termasuk ukuran partikel formulasi sesuai kondisi penerima vaksin.

Dalam tahap upstream ini sering tidak terhindarkan penggunaan bahan yang tidak halal atau turunannya karena hanya media tertentu yang bisa menumbuhkan virus vaksin. Virus tidak akan tumbuh pada sel yang tidak sesuai karena setiap virus mempunyai tempat penempelan (reseptor) yang spesifik.

Dalam tahap ini diskusi bisa dilakukan di DVN untuk mempertemukan fakta produksi dengan kaidah fikihnya. Hasil yang sudah disepakati dilanjutkan dengan middlestream, penentuan bahan pembawa, yaitu adjuvant, termasuk perkiraan biaya produksi. Hasil formulasi dilanjutkan dengan pengujian.

Tahap downstream adalah uji klinis fase 1; fase 2; fase 3; fase 4, merupakan tahap akhir, penyediaan vaksin yang dirancang.

Setiap tahap memerlukan waktu yang tidak pendek. Sebagai contoh untuk uji imunogenisitas, uji toksikologi dan uji tantang, tidak kurang dari 10 tahun.

Selama ini setiap tahap hanya dilakukan BPOM. Maka, dengan adanya DVN, tahapan bisa dilakukan bersama unsur lain. Tidak tertutup kemungkinan pada tahap akhir baru diketahui efek negatif suatu vaksin.

Seperti yang terjadi tahun lalu terhadap vaksin dengue dari suatu industri vaksin di Perancis. Vaksin gagal setelah diketahui adanya efek yang tidak diinginkan pada masyarakat pengguna di Filipina sehingga harus diulang dari awal.

Jika telah terbukti berkhasiat dan aman, baru mengajukan registrasi ke BPOM untuk mengikuti serangkaian verifikasi termasuk audit ketat untuk keamanan dan kualitas produk.

Pengajuan sertifikasi halal kepada MUI sebagai otoritas halal di Indonesia juga membutuhkan waktu karena butuh pemahaman bukan hanya bahan baku, melainkan sistem produksi juga sesuai yang dipersyaratkan.

Bisa dibayangkan, jika di ujung proses MUI menetapkan vaksin yang sudah dipersiapkan puluhan tahun tersebut terkandung bahan haram, alangkah sia-sianya. Oleh karena itu, MUI perlu mengawal sejak dini di DVN.

Sistem pertahanan
Selain isu halal, gerakan antivaksinasi beranggapan bahwa vaksin, terutama vaksin impor, merupakan strategi untuk melemahkan kesehatan umat (Journal of Infection and Public Health, volume 11, tahun 2018). Isu tersebut harus bisa dijawab dan dieliminasi agar tidak ada ruang bagi gerakan antivaksinasi.

Sejatinya vaksin dibuat dari virus patogen penyebab penyakit, yang dilemahkan. Maka, dalam sistem pertahanan nirmiliter Indonesia, vaksin masuk ke dalam strategi penangkalan dan strategi penindakan. Oleh karena itu, Kemenham dan BIN bisa dimasukkan dalam unsur DVN.

Selain itu, penggunaan vaksin pada hewan juga perlu mendapat kajian dari DVN. Dengan demikian, produk ternak atau hewan bisa membawa zat kebal (antibodi) hasil vaksinasi, saat dikonsumsi masyarakat.

Yang harus dipahami, pemenuhan kebutuhan vaksin oleh industri nasional sangat mendesak mengingat jumlah penduduk, ancaman mikroorganisme, dan arus globalisasi yang memungkinkan kuman bebas berlalu lintas dari satu negara ke negara lain. Yang penting lainnya, Indonesia telah menjadi center of excellent untuk vaksin dan bahan bioteknologi bagi negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Riset pada tahap upstream bisa dilakukan oleh pusat penelitian dari Kemenristek-Dikti, BPPT akan lebih baik, sehingga meringankan pendanaan dan waktu industri vaksin. Namun, tahap ini butuh dana yang tidak sedikit.

Namun, bisa juga memanfaatkan lembaga riset swasta (research center start-up) dan collaborating research organization (CRO) yang tidak mengharapkan bantuan pendanaan riset dari pemerintah.

Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki banyak spesies hewan bisa memberikan alternatif dalam uji coba vaksin. Salah satunya adalah monyet. Sejak Indonesia tidak bisa mengekspor monyet ke luar negeri dan penggunaan dalam negeri terbatas, hewan ini telah menjadi hama pengganggu permukiman. Dewan Vaksin Nasional bisa bernegosiasi dengan pemangku bidang kesehatan ihwal hewan coba untuk uji pre-klinis.

Sejak Desember 2017, Professor Nidom Foundation (PNF) sebagai lembaga riset start-up telah bekerja sama dengan University of Lausanne dan University of Geneva, Swiss, untuk menghasilkan bibit vaksin halal.

Pendanaan sepenuhnya oleh Swiss National Science Foundation (SNF). Hasil riset ini selanjutnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pemenuhan vaksin halal nasional.

Untuk fasilitas riset, DVN bisa bersinergi dengan lembaga-lembaga riset yang ada, atau menggunakan fasilitas laboratorium yang selama ini ditujukan untuk penyiapan vaksin nasional.

Akhirnya penyiapan vaksin nasional dengan kemampuan dan kekuatan sendiri jauh lebih baik. Untuk itu diperlukan niat baik, usaha, dan kerja lebih keras semua pihak. Semoga!

CA Nidom Guru Besar Unair dan Peneliti Vaksin; Pendiri Professor Nidom Foundation (PNF)

Sumber: Kompas, 10 September 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Sejarah Ilmu Kedokteran
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:27 WIB

Sejarah Ilmu Kedokteran

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB