Dalam Sistem Registri Nasional, total reduksi emisi gas rumah kaca nasional yang terverifikasi mencapai 421 juta ton setara karbon dioksida. Ini lebih tinggi dari klaim sebesar 298 juta ton.
Tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia masih fluktuatif. Hal ini di antaranya disebabkan pelepasan emisi sangat tinggi saat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 dan 2019.
Dalam Sistem Registri Nasional (SRN), total reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) nasional yang terverifikasi mencapai 421 juta ton setara karbon dioksida. Ini lebih tinggi dari klaim sebesar 298 juta ton setara karbon dioksida.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Emma Rachmawati menyampaikan, data Sistem Registri Nasional tersebut didapatkan dari sejumlah pihak yang turut berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.
”Tentu kami belum memeriksa apakah angka ini terjadi double counting atau tidak. Ini hanya berdasarkan verifikasi bersifat aksi mitigasi yang masuk ke dalam Sistem Registri Nasional,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Modul Perubahan Iklim: Upaya Indonesia dalam Menanggulangi Perubahan Iklim”, Rabu (26/8/2020).
Penurunan emisi terbesar berada di sektor kehutanan dengan total 297 juta ton, diikuti transportasi dengan 57 juta ton, energi 54 juta ton, pertanian 8,8 juta ton, proses industri dan penggunaan produk 1,8 juta ton, serta limbah 287.000 ton.
Ia menunjukkan tingkat emisi GRK fluktuatif yang terutama sangat terkait dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Apabila terjadi karhutla sangat besar seperti tahun 2015 dan 2019, tingkat emisi GRK pun meningkat drastis.
Kontribusi nasional
Emma menegaskan, pemerintah terus melakukan penguatan pelaksanaan program dokumen nasional terkait kontribusi nasional penurunan emisi sesuai Kesepakatan Paris (NDC). Kegiatan yang dilakukan di antaranya percepatan proyek energi baru terbarukan, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), mobil listrik, bahan bakar alternatif B100 atau biofuel, dan bangunan hijau.
Selain itu, dikembangkan pula kebijakan nilai ekonomi karbon, pengurangan deforestasi, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan gambut, serta peningkatan peran serta masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Penguatan juga terus dilakukan dengan melibatkan nonparty stakeholder (NPS) yang terdiri dari komunitas lokal, dunia usaha, organisasi masyarakat sipil, hingga pemerintah daerah.
Dukungan NPS terhadap penurunan emisi juga dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, emisi GRK pada 2019 mencapai 34,65 juta ton setara karbon dioksida. Angka emisi pada 2019 tersebut menurun lebih dari 7 juta ton dari tahun sebelumnya yang mencapai 42,14 juta ton.
Meski demikian, Aswin juga menyebut masih terdapat tantangan pelaksanaan perubahan iklim di Kaltim terkait kewenangan di sektor kehutanan dan pertambangan yang sebagian besar berada di pusat. Selain itu, belum ada cukup insentif yang diterima dunia usaha yang telah melakukan penurunan emisi.
Menurunkan biodiversitas
Kepala Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC-UI) Jatna Supriatna mengatakan, emisi karbon dioksida telah meningkat 35 persen sejak era industrialisasi dimulai. Sejumlah penelitian menyebutkan, sumber peningkatan emisi hingga 78 persen berasal dari aktivitas manusia, seperti pembangkit listrik, deforestasi, dan pemakaian transportasi.
Selain meningkatnya suhu udara, dampak perubahan iklim juga dapat diketahui dari sejumlah hal, di antaranya usia dan peristiwa di uliran kayu, pola kimia di salju abadi dalam, fosil dan umur bumi, serta proses kimia dan skeleton atau cangkang terumbu karang.
Sementara dari riset RCCC-UI, perubahan iklim juga berdampak pada menurunnya, bahkan menghilangnya biodiversitas atau keanekaragaman hayati di sejumlah wilayah. Salah satu biodiversitas yang diteliti dan terus berkurang adalah spesies anggrek di daerah Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
”Diperkirakan spesies anggrek pada 20 hingga 30 tahun akan hilang. Selain itu, di Sulawesi, perubahan iklim juga memengaruhi hewan endemik di sana, seperti babi rusa, anoa, dan sejumlah spesies burung,” ujarnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2020