Pengolahan Harus Disertai Pengurangan Jumlah Karbon

- Editor

Sabtu, 14 Oktober 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kebijakan pemerintah dalam kontribusi nasional diniatkan untuk menekan emisi di sektor lahan dan energi dinilai tak efektif. Hal itu karena program seperti Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus atau REDD+, karbon biru, dan teknologi batubara bersih, sekadar mengolah karbon tanpa mengurangi jumlahnya.
Kontribusi Nasional yang Diniatkan (Nationally Determined Contributions) menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen tahun 2020-2030. “Dalam program REDD+, pemerintah masih melibatkan perusahaan penyebab emisi karbon,” kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono di Jakarta, Jumat (13/10).

REDD+ adalah langkah yang didesain dalam sektor kehutanan untuk mengurangi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi lahan. Negara-negara berkembang yang punya hutan akan diberi dana pemeliharaan oleh negara maju yang memproduksi karbon. Itu dinilai tak tepat karena jumlah produksi karbon yang dihasilkan tak berkurang.

Terkait hal itu, perlu perubahan paradigma pembangunan lingkungan untuk melibatkan rakyat dalam komunitas kecil demi menekan produksi karbon lewat pengelolaan perhutanan sosial, bukan korporasi besar. Perusahaan penghasil karbon seolah peduli lingkungan. “Ini seperti greenwashing,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Yuyun menganggap REDD+ tak bisa menuntaskan soal di sektor kehutanan. Sebab, kebijakan pemberian izin bagi hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit, dan tambang tak dibatasi. Tak efektifnya REDD+ menekan jumlah karbon juga terjadi pada pemakaian teknologi batubara bersih dan penyerapan karbon sektor kelautan.

Untuk itu, pemerintah diharapkan mempercepat penerapan kebijakan perhutanan sosial yang mencakup pemberian tata kuasa, kelola, produksi, dan konsumsi hutan. “Dengan pengelolaan model lestari, itu akan menjawab soal ekonomi, mitigasi perubahan iklim, soal tenuria, dan pemulihan hutan,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jati Witjaksana Hadi menyatakan, berdasarkan Kesepakatan Paris 2016, setiap lembaga di berbagai sektor terkait wajib mengurangi emisi gas rumah kaca. Pihaknya berharap penerapan NDC berjalan baik.

Setiap kementerian terkait perlu mengukur bagaimana setiap program bisa menekan gas rumah kaca. Contohnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral perlu mengukur emisi dari pertambangan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait karbon biru. (DD13)

Sumber: Kompas, 14 Oktober 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB