Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Jumat (27/3), mengatakan, Indonesia telah memiliki Sistem Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi sebagai alat baku pengukuran program penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan/lahan atau REDD+. Acuan itu dinamakan Sistem Penghitungan Karbon Nasional Indonesia atau INCAS.
“Tentu ini (INCAS) kami firm (sebagai Sistem Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi/MRV). Saya tanya ke Balitbang apa punya nyali untuk mengakui karya sendiri meski masih sebatas estimasi?” kata Siti seusai peluncuran buku Metode Standar untuk Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Kehutanan di Indonesia (Versi 1) dan buku Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca Tahunan dari Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Buku itu disusun peneliti Pusat Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Balitbang KLHK.
Sistem MRV merupakan mandat Konferensi Perubahan Iklim Global (UNFCCC). Hal itu bertujuan agar setiap pengukuran serapan dan pelepasan emisi di setiap negara dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Selain itu, dalam kerja sama nota kesepakatan Indonesia-Norwegia pada 2010, sistem MRV akan dijalankan lembaga independen. Terkait lembaga itu, Siti mengatakan, akan dibahas lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Indonesia punya Komite Akreditasi Nasional. Nanti juga ada Dirjen (Pengendalian Perubahan Iklim) dan dewan direktur yang berjalan. Agenda-agenda ini harus diperkirakan dan diselesaikan,” katanya.
Ia berharap sejumlah pekerjaan rumah itu bisa sesegera mungkin diselesaikan sebelum Oktober 2015 untuk menyongsong UNFCCC Paris 2015. Selain itu, dia juga mendorong agar peneliti Litbang KLHK menyelesaikan pendugaan emisi GRK di 11 provinsi lain (selain Kalimantan Tengah yang sudah dilakukan) untuk memperkuat argumen ilmiah delegasi Indonesia di UNFCCC.
Kepala Balitbang KLHK San Afri Awang mengatakan, INCAS diadopsi dari metode serupa di Australia yang telah diakui internasional. Adopsi dilakukan pada variabel jenis hutan yang variatif di Indonesia. Uji coba INCAS di Kalimantan Tengah dengan menganalisis data dan citra satelit 2000-2012 menunjukkan, pelepasan emisi GRK terbesar terjadi tahun 2006 sebesar 195 juta ton CO2-e dan terendah tahun 2010 sebesar 74 juta ton CO2-e.
Peneliti biometrik hutan yang memimpin penyusunan INCAS, Haruni Krisnawati, mengatakan, setiap tahun dapat terukur emisi dari gangguan hutan dan gambut. Gangguan itu antara lain deforestasi, degradasi, pengelolaan hutan lestari (logging), dan rehabilitasi lahan.
Ia mengatakan, sistem INCAS bersifat fleksibel dan bisa dikembangkan untuk memperkirakan emisi di luar kawasan hutan (misalnya lahan pertanian).
Haruni yakin, INCAS akan dapat diterima Forum Pakar Perubahan Iklim. “Dibandingkan negara lain yang sedang berkembang, kita paling maju. Dalam berbagai pertemuan, kami sering jadi narasumber, bukan partisipan,” katanya.
Dijelaskan, INCAS merupakan sistem yang dirancang untuk mendukung MRV GRK nasional yang konsisten dari sektor berbasis lahan, termasuk untuk memenuhi persyaratan MRV kegiatan REDD+ dan pelaporan internasional ke UNFCCC. INCAS juga diklaim menjadi platform bersama (national platform) untuk perhitungan dan pelaporan emisi GRK sektor berbasis lahan. (ICH)
—————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2015, di halaman 13 dengan judul “Indonesia Miliki Sistem MRV”.