Teluk Palu Cocok untuk Habitat Mangrove

- Editor

Sabtu, 6 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pesisir Teluk Palu dinilai cocok sebagai habitat mangrove dan data-data sejarah juga menguatkan hal ini. Hingga awal 1980-an di kawasan ini masih banyak tanaman mangrove dan sebagian yang tersisa terbukti mampu melindungi permukiman masyarakat dari tsunami.

?Oleh karena itu, alasan pembangunan tanggul karena mangrove dianggap tidak cocok tumbuh di pesisir Teluk Palu, Sulawesi Tengah dinilai tidak tepat. Seperti diberitakan harian Kompas pada Jumat (5/4/2019), pemerintah tetap akan membangun tanggul laut di Teluk Palu sebagaimana diusulkan Jepang. Salah satu alasannya, seperti dikemukakan Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto, karena Teluk Palu tidak memiliki pantai yang landai, sehingga tidak cocok untuk mangrove.

–Usulan pembangunan tanggul laut di Palu untuk melindungi tsunami. Sumber: Dokumen Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Provinsi Sulawesi Tengah

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

?Arkeolog yang juga Wakil Kepala Museum Daerah Provinsi Sulteng Iksam mengatakan, hingga akhir tahun 1970-an sepanjang pesisir Teluk Palu masih banyak terdapat mangrove. “Bahkan, hingga sebelum tsunami 28 September 2018, di Penggaraman, Pantai Talise masih ada bukti pohon mangrove besar, yang karena tinggal sendiri disebut warga sebagai pohon jomblo,” kata dia.

?Iksam mengatakan, pembabatan mangrove di pesisir Teluk Palu baru dimulai setelah tahun 1978, setelah Kota Palu dimekarkan menjadi Kota Administratif dan Ibukota Provinsi Sulteng. “Pembatatan mangrove di Teluk Palu ini berbarengan dengan pembangunan perumnas di daerah Petobo dan Balaroa, yang terkena likuefaksi beberapa waktu lalu. Jadi tidak tepat jika alasan pembangunan tanggul karena mangrove tidak cocok di Teluk Palu,” kata Iksam.

Potensial?
Peneliti mangrove yang juga ahli tsunami dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan Perikanan (BRSDMKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Semeidi Husrin mengatakan, Teluk Palu potensial untuk pengembangan mangrove. “Saya yakin Teluk Palu dulunya mangrove karena itu ada sungai besar, pasti dulu kanan-kirinya mangrove rapat,” kata dia.

?Dari survei setelah tsunami, pesisir Teluk Palu juga mengalami pasang surut. “Area pesisir yang secara periodik terendam air akan sangat cocok untuk mangrove. Memang, ada sebagian di Teluk Palu yang terlalu curam, tetapi rata-rata masih cocok untuk mangrove,” kata dia.

?Menurut Semeidi, hutan bakau merupakan salah satu jenis vegetasi yang memiliki kemampuan terbaik meredam energi tsunami karena kerapatan dan sistem perakarannya yang kuat. Bakau cocok untuk pantai yang secara reguler tergenang dan kering, ada substrat berlumpur, suplai air tawar.

“Bakau ini tanaman khas tropis yang di Jepang tidak ada, sedangkan di Indonesia berlimpah. Selain untuk proteksi pesisir, ini juga mendukung habitat ikan,” kata dia.

?Menurut Semeidi, untuk area pesisir yang tidak terendam pasang surut bisa dikembangkan tanaman keras untuk proteksi pesisir. Beberapa di antaranya adalah cemara laut, ketapang, waru laut. “Intinya, untuk proteksi pantai secara alami bisa dikombinasikan mangrove dengan tanaman-tanaman pantai lain. Jadi tidak harus tanggul laut untuk melindungi pantai,” kata dia.

?Dia menambahkan, pertimbangan penting untuk perlindungan pantai dengan proteksi alami adalah konteks sosial masyarakat, selain juga soal pendanaan. “Selain pembangunan tanggul yang didanai utang, yang juga harus diperhitungkan adalah biaya perawatan dan umur pakainya. Jangan sampai nantinya membebani APBD untuk biaya perawatannya,” kata dia.

?Semeidi termasuk anggota Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) yang mengusulkan agar pemerintah tidak memilih opsi membangun tanggul laut untuk memproteksi dari tsunami.

“Setelah tsunami Aceh, banyak infrastruktur fisik yang dibangun dengan biaya sangat mahal, namun kurang berfungsi optimal. Di antaranya buoy tsunami dan tsunami shelter. Jangan sampai kita mengulang hal ini di Palu. Dengan keterbatasan anggaran, harusnya pemerintah lebih hati-hati. Sampai saat ini, kami masih menunggu Bappenas untuk menerima masukan dan usulan dari para peneliti Indonesia,” kata dia.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 6 April 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Berita Terbaru

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB