Kombinasi Museum, Konservasi SDA, dan Pemberdayaan Rakyat
Menyongsong 200 tahun letusan Gunung Tambora, Pusat Arkeologi Nasional merekomendasikan Situs Tambora di Desa Oi Bura, Tambora, Bima, Nusa Tenggara Barat, sebagai ekomuseum. Di tempat ini, pengunjung bisa belajar sejarah dan peradaban.
Ketua Tim Penelitian Situs Tambora Sony Wibisono dari Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas) mengatakan, penetapan Situs Tambora sebagai ekomuseum sangat penting untuk mengangkat kembali Tambora sebagai tempat wisata, tempat pembelajaran sejarah, tempat konservasi sumber daya alam (SDA), dan sarana pemberdayaan masyarakat.
”Kami memberikan rekomendasi bagaimana memanfaatkan situs ini sebagai sarana pembelajaran. Kita semua tahu bahwa sejarah letusan Tambora dahulu pernah memengaruhi dunia,” ujar Sony, Rabu (9/7), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bulan April 1815, Gunung Tambora meletus dan menewaskan sekitar 10.000 jiwa. Bahkan, efek lanjutan letusan gunung ini turut memengaruhi iklim dunia dan membawa korban jiwa lebih besar, 71.000-91.000 jiwa.
Tepat 200 tahun peringatan letusan Tambora, Pusarnas pada tahun 2015 akan mempresentasikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di Situs Tambora, Nusa Tenggara Barat. Dalam kesempatan ini, akan ditampilkan pula simulasi permukiman masyarakat Tambora sebelum letusan Tambora menghancurkannya.
Temuan-temuan Situs Tambora sangat spesifik karena ditemukan dalam kondisi relatif utuh. ”Bersama Balai Arkeologi Denpasar, kami telah mengekskavasi sebuah kompleks permukiman yang terkubur material vulkanik Tambora dengan kondisi lengkap, mulai dari batu penopang, kayu, lumpang, tiang, bajak, pagar rumah, tanduk rusa, hingga tali yang rata-rata telah menjadi arang karena diterpa awan panas,” ujar Sony.
Untuk menjaga agar artefak- artefak temuan tidak hancur, Pusarnas menggandeng Balai Konservasi Borobudur. Dengan teknis khusus, barang-barang temuan itu diawetkan.
Menurut Sony, temuan-temuan ini mampu menginterpretasikan cara-cara hidup masyarakat saat itu. Meski kondisinya telah rapuh, di situs ini terkuak bentuk awal rumah panggung rakyat Tambora berukuran 6,5 meter x 3,5 meter yang hancur tertimbun material vulkanik dengan ketebalan 2-4 meter.
”Situs ini berada di ketinggian 640 meter di atas permukaan laut sekitar 18 kilometer dari puncak Tambora. Agar ingatan sejarah terangkat lagi, kami merekomendasikan tempat ini sebagai ekomuseum yang berisi koleksi arkeologi juga sekaligus membawa pesan-pesan untuk menjaga ekologi, seperti bagaimana dahulu masyarakat Tambora belajar menghargai kearifan alam,” ujarnya.
Gunung Tambora yang masuk dalam kategori tujuan pariwisata berbasis petualangan selama ini kurang terperhatikan karena kondisi alamnya yang berupa padang pasir gersang dan sulit diakses. Karena itu, dengan pencanangan Situs Tambora sebagai ekomuseum diharapkan masyarakat semakin antusias berkunjung ke tempat bersejarah ini.
Peradaban yang tertimbun
Indonesia yang berada di deretan cincin api gunung api menyimpan sejarah panjang bencana erupsi. Tambora adalah salah satu contoh dari sebagian peradaban di Tanah Air yang pernah tertimbun letusan vulkanik.
Di Temanggung, Jawa Tengah, tahun 971 Masehi, Gunung Sindoro juga menimbun peradaban Mataram Kuno Liyangan yang berada di lereng gunung itu.
Menurut Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto, penemuan situs ini merupakan bukti riil kisah-kisah sejarah Mataram Kuno yang selama ini hanya terpahat di relief-relief candi.
”Kami akan terus menyingkap seluruh tata ruang Liyangan sampai ketemu batas terluarnya,” kata Siswanto. (ABK)
Sumber: Kompas, 10 Juli 2014