Badan Restorasi Gambut menargetkan restorasi 400.000 lahan gambut yang rusak pada tahun 2018. Selain mengembangkan kegiatan teknis, sambutan masyarakat yang positif menjadi kunci berjalannya program di lapangan.
Demikian kesimpulan dalam paparan catatan akhir tahun Badan Restorasi Gambut (BRG) di Jakarta, Kamis (28/12). Acara itu dihadiri Kepala BRG Nazir Foead, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna A Safitri, Deputi Perencanaan dan Kerja Sama BRG Budi Wardhana, serta Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG Haris Gunawan.
Nazir memaparkan, pada 2016, lahan gambut yang direstorasi seluas 200.000 hektar. Pada tahun 2017, BRG merestorasi 200.000 hektar lahan gambut di Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Restorasi dilakukan dengan membangun 1.849 sekat kanal, menimbun 110 kanal, dan membangun 5.900 sumur bor. Selain itu, 101 kelompok masyarakat di 6 provinsi difasilitasi untuk melaksanakan budidaya padi lokal, nanas madu, dan hortikultura di lahan gambut.
Sebanyak 69 ahli gambut dari sembilan negara bersama Badan Restorasi Gambut (BRG) RI dan masyarakat melakukan penanaman bibit pohon belangiran di Desa Taruna Jaya, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (4/11/2017). Mereka menanam sekitar 50 bibit pohon di sela-sela kunjungan di Kalimantan Tengah sekaligus melihat proses restorasi lahan gambut pasca kebakaran hutan dan lahan.
Upaya pemulihan lahan gambut itu melibatkan masyarakat lokal yang sudah lama mengolah lahan gambut. “Mereka menyambut positif kegiatan restorasi. Dengan capaian luas lahan sesuai target dan partisipasi aktif masyarakat, kami yakin target restorasi ekosistem gambut terpenuhi,” kata Nasir.
Tahun depan BRG ditargetkan memulihkan ekosistem gambut seluas 400.000 hektar. Pelibatan masyarakat tetap menjadi strategi utama restorasi.
Selain di enam provinsi sebagaimana dikerjakan tahun ini, restorasi dilakukan di Papua. Dalam dua tahun terakhir, kegiatan fisik belum dilakukan di Papua, tetapi baru sebatas pemetaan areal dan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait.
Ekosistem gambut yang rusak tersebar di kawasan hutan lindung seluas 600.000 hektar, wilayah kelola atau budidaya masyarakat 400.000 hektar, dan konsesi perusahaan 1,4 juta hektar di 7 provinsi.
Alat pemantau
Tahun ini, BRG mulai memakai alat pemantau tinggi muka air di lahan gambut. Alat yang dipasang di 40 tempat tersebut memberikan informasi per jam terkait naik dan turunnya muka air di lahan gambut yang bisa diakses melalui telepon genggam berbasis Android atau komputer yang tersambung internet. Jika muka air turun drastis, risiko kebakaran tinggi. Dengan kondisi itu, intervensi harus dilaksanakan.
Nazir berharap perusahaan-perusahaan pemegang konsesi yang memiliki ekosistem gambut turut memakai alat pemantau tersebut agar bisa mendeteksi lebih awal risiko kebakaran.
Targetnya, 200 alat dipasang di sejumlah titik lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan pada 2018. Harga alat pemantau itu Rp 80 juta per unit. Alat itu dikembangkan atas kerja sama BRG, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta lembaga penelitian dari Jepang.
Menurut Haris, alat pemantau muka air di lahan gambut penting terutama saat cuaca ekstrem. BRG menyempurnakan alat pemantau itu untuk dipasang di area tak dijangkau jaringan internet. (VDL)
Sumber: Kompas, 29 Desember 2017