Pemerintah Kota Dinilai Lebih Paham Kondisi Siswa
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinilai tidak mengakomodasi semangat otonomi daerah. Keunikan setiap kota/kabupaten, terutama dalam hal pendidikan, luput dari perhatian undang-undang itu.
Maka, pendidikan tingkat menengah dan kejuruan yang dalam UU No 23/2014 dinyatakan menjadi urusan provinsi dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi agar kembali menjadi kewenangan kota/kabupaten. Hal tersebut terungkap dalam sidang uji materi UU No 23/2014 di MK, Rabu (8/6).
Sidang digelar dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi pemohon. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini hadir untuk menjadi saksi dari pemohon Bambang Wijanarko, warga Surabaya, yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) dan Ayat (2) serta lampiran Huruf (A) UU No 23/2014. Hadir pula dua saksi lain, yakni tenaga kependidikan SMA 11 Surabaya, Edi Sugiarto, dan Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Risma mengatakan, urusan pendidikan yang beralih dari kota/kabupaten ke provinsi menimbulkan persoalan bagi anak didik. Menurut dia, tidak ada jaminan bahwa urusan kependidikan akan jauh lebih baik setelah ditangani oleh provinsi.
“Ketika pendidikan menjadi urusan kota/kabupaten, kami bisa secara detail menangani pendidikan siswa karena kami dekat dengan mereka. Kami punya catatan detail tentang siswa-siswa di Surabaya,” kata Risma.
Ia menjelaskan, setiap ada anak yang menyelesaikan studi di SMP, Pemerintah Kota Surabaya mengupayakan agar mereka bisa meneruskan ke SMA atau SMK dengan bantuan Rp 1,8 juta per anak. “Bagi pegawai honor di bidang kependidikan, kami juga memberikan tunjangan Rp 3 juta per orang,” tutur Risma.
Setelah UU Pemda diterbitkan pada 2014, Risma merasa kelangsungan pendidikan bagi anak-anak Kota Surabaya serta jaminan kesejahteraan tenaga pendidik tidak lagi terjamin. “Saya dua kali menyurati Pemerintah Provinsi Jawa Timur menanyakan apakah kebijakan itu akan ditindaklanjuti ataukah ada jaminan bahwa anak-anak Kota Surabaya mendapatkan tunjangan pendidikan yang sama. Kami belum mendapatkan jawaban. Jawaban yang ada bersifat normatif bahwa itu telah menjadi ketentuan UU,” ujarnya.
Edi Sugiarto menuturkan, sebagai tenaga pendidikan, ia menikmati tunjangan Rp 3,1 juta per bulan. Ia khawatir tunjangan itu tidak diperolehnya jika urusan kependidikan menengah dan kejuruan menjadi kewenangan Pemprov Jatim.
Seusai sidang, Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi mengungkapkan, rata-rata dana pendidikan dari pemerintah kota adalah Rp 1,6 triliun per tahun. Jumlah ini berkisar 28 persen hingga 36 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Surabaya. Jika kendali diambil alih provinsi, kucuran dana berkurang menjadi Rp 600 miliar-Rp 700 miliar per tahun. Jumlah tersebut hanya cukup untuk menggaji guru, tetapi tidak bisa menutupi keperluan biaya lain.
Komprehensif
Martadi menjelaskan, metode pendidikan di Surabaya disesuaikan dengan lingkungan masing-masing. Pendekatan untuk anak dari komunitas pemulung, misalnya, berbeda dengan anak-anak jalanan walaupun mereka sesama kelompok miskin kota. Orangtua dan masyarakat sekitar juga diberi pembinaan agar menyadari pentingnya mencegah anak tidak putus sekolah.
“Apabila anak dipaksa bekerja karena orangtua menganggur, intervensi yang dilakukan adalah memberikan pelatihan keterampilan bagi ayah dan ibu agar bisa mencari nafkah untuk anak,” tutur Martadi. (REK/DNE)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juni 2016, di halaman 11 dengan judul “Surabaya Ingin Tetap Urus SMA”.