Pada 27 Agustus 1833, letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda mengejutkan dunia. Inilah salah satu letusan terkuat dalam sejarah, dengan level 6 skala Volcanic Explosivity Index (VEI). Letusan Krakatau hanya kalah dari letusan skala 7 Gunung Tambora di Pulau Sumbawa tahun 1815 dan letusan skala 8 Gunung Toba di Sumatera Utara, 74.000 tahun lalu.
Letusan Krakatau berkekuatan 21.574 kali lipat daya ledak bom atom yang meleburkan Hiroshima (De Neve, 1984). Tak hanya melenyapkan seluruh Pulau Krakatau, letusan itu juga menghancurkan kehidupan di pesisir Banten dan Lampung.
Gelombang awan panas dan tsunami yang tercipta menewaskan lebih dari 36.000 jiwa. Kengeriannya dilukiskan dalam catatan pribumi, seperti “Syair Lampung Karam” yang ditulis Muhammad Saleh dan dalam sejumlah catatan kolonial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, Krakatau bukan sekadar kisah kehancuran. Dalam khazanah ilmu pengetahuan, Krakatau juga simbol kehidupan dan daya pulih alam. Empat puluh empat tahun kemudian, 29 Juni 1927, gunung baru muncul di lokasi yang sama.
Pada Januari 1928, geolog Belanda, JMW Nash, yang datang ke bekas kaldera Krakatau, mencatat munculnya pulau baru atau persisnya lapisan pasir berbentuk separuh lingkaran sepanjang sekitar 10 meter. Di pusat lengkungan, ada gundukan batuan setinggi 8,93 meter di atas permukaan laut yang masih berasap. Inilah embrio Anak Krakatau, si pulau gunung api.
Anak gunung itu tumbuh cepat. Sudradjat (1982) mencatat, lima tahun setelah kelahirannya, Anak Krakatau tumbuh dari ketinggian 8,93 mdpl menjadi 66,8 mdpl, dan 35 tahun kemudian menjadi 169,67 mdpl. Penambahan tinggi diikuti bertambahnya luas pulau. Tahun 1930 panjang Pulau Anak Krakatau masih 450 meter x 900 meter, pada 1981 telah 1.950 meter x 2.000 meter.
Dengan menganalisis kecepatan pertumbuhan, Sutikno Bronto (1990) memperkirakan, tahun 2040 volume Gunung Anak Krakatau akan melebihi volume Gunung Rakata, Danan, dan Perbuatan menjelang letusan tahun 1883.
Kehidupan baru
Kemunculan Anak Krakatau diikuti datangnya kehidupan. Bahkan, sekalipun Anak Krakatau rajin meletus, hutan makin melebat dan fauna makin beragam. Bagaimana kehidupan mengisi Anak Krakatau yang lahir terisolasi di tengah lautan? Kapan, siapa, dan apa, yang pertama datang mengisi tabula rasa itu?
Keingintahuan itu melahirkan teori suksesi ekologi. Anak Krakatau kerap dianggap sebagai laboratorium alam yang menjelaskan pertanyaan tak terjawab dari Galapagos, pulau gunung api di Samudra Pasifik, sumber teori evolusi Charles Darwin.
Jika suksesi dan evolusi di Galapagos tidak ada rekaman kapan mulainya, Krakatau justru sebaliknya. Suksesi ekologi di Anak Krakatau tercatat rinci karena setiap perubahan di pulau itu dipantau ahli-ahli biologi dunia sejak awal kemunculannya.
Menurut Tukirin Partomihardjo, ahli botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang lebih dari 30 tahun meneliti di Anak Krakatau, hanya Krakatau-pulau yang sejak letusan dinyatakan steril-selalu terdata populasinya.
Krakatau memberikan pelajaran tentang Bumi yang hidup dan terus tumbuh. Kelahiran dan kematian gunung api, lalu kebangkitan kembali ekologi. Sudahkah kita belajar darinya?
Tukirin adalah satu-satunya peneliti botani dari Indonesia, yang bertahan menekuni suksesi Krakatau, itu pun karena kebetulan. Penelitiannya ke kompleks Krakatau sejak 1980-an, semula gara-gara mendampingi para peneliti dari universitas dan lembaga luar negeri yang datang silih berganti ke sana.
Krakatau selalu jadi rujukan dalam kuliah biogeografi di kampus-kampus besar dunia. Menurut Tracey Louise Parish (2003) dari Universitas Utrecht, Belanda, “Krakatau adalah kasus unik yang tak ternilai, mengisahkan bagaimana penghancuran dan pemulihan kehidupan di alam tropis yang kompleks.”
Sayang, keunikan Krakatau justru belum banyak diapresiasi di negeri sendiri. Itu ditandai dengan minimnya riset ataupun buku-buku tentangnya yang ditulis para ahli kita.–AHMAD ARIF
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Suksesi Krakatau”.