Suksesi Krakatau

- Editor

Rabu, 26 Agustus 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pada 27 Agustus 1833, letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda mengejutkan dunia. Inilah salah satu letusan terkuat dalam sejarah, dengan level 6 skala Volcanic Explosivity Index (VEI). Letusan Krakatau hanya kalah dari letusan skala 7 Gunung Tambora di Pulau Sumbawa tahun 1815 dan letusan skala 8 Gunung Toba di Sumatera Utara, 74.000 tahun lalu.

Letusan Krakatau berkekuatan 21.574 kali lipat daya ledak bom atom yang meleburkan Hiroshima (De Neve, 1984). Tak hanya melenyapkan seluruh Pulau Krakatau, letusan itu juga menghancurkan kehidupan di pesisir Banten dan Lampung.

Gelombang awan panas dan tsunami yang tercipta menewaskan lebih dari 36.000 jiwa. Kengeriannya dilukiskan dalam catatan pribumi, seperti “Syair Lampung Karam” yang ditulis Muhammad Saleh dan dalam sejumlah catatan kolonial.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, Krakatau bukan sekadar kisah kehancuran. Dalam khazanah ilmu pengetahuan, Krakatau juga simbol kehidupan dan daya pulih alam. Empat puluh empat tahun kemudian, 29 Juni 1927, gunung baru muncul di lokasi yang sama.

krakatauPada Januari 1928, geolog Belanda, JMW Nash, yang datang ke bekas kaldera Krakatau, mencatat munculnya pulau baru atau persisnya lapisan pasir berbentuk separuh lingkaran sepanjang sekitar 10 meter. Di pusat lengkungan, ada gundukan batuan setinggi 8,93 meter di atas permukaan laut yang masih berasap. Inilah embrio Anak Krakatau, si pulau gunung api.

Anak gunung itu tumbuh cepat. Sudradjat (1982) mencatat, lima tahun setelah kelahirannya, Anak Krakatau tumbuh dari ketinggian 8,93 mdpl menjadi 66,8 mdpl, dan 35 tahun kemudian menjadi 169,67 mdpl. Penambahan tinggi diikuti bertambahnya luas pulau. Tahun 1930 panjang Pulau Anak Krakatau masih 450 meter x 900 meter, pada 1981 telah 1.950 meter x 2.000 meter.

Dengan menganalisis kecepatan pertumbuhan, Sutikno Bronto (1990) memperkirakan, tahun 2040 volume Gunung Anak Krakatau akan melebihi volume Gunung Rakata, Danan, dan Perbuatan menjelang letusan tahun 1883.

Kehidupan baru
Kemunculan Anak Krakatau diikuti datangnya kehidupan. Bahkan, sekalipun Anak Krakatau rajin meletus, hutan makin melebat dan fauna makin beragam. Bagaimana kehidupan mengisi Anak Krakatau yang lahir terisolasi di tengah lautan? Kapan, siapa, dan apa, yang pertama datang mengisi tabula rasa itu?

krakatau_volcano_indonesia_photo_vsi_1979Keingintahuan itu melahirkan teori suksesi ekologi. Anak Krakatau kerap dianggap sebagai laboratorium alam yang menjelaskan pertanyaan tak terjawab dari Galapagos, pulau gunung api di Samudra Pasifik, sumber teori evolusi Charles Darwin.

Jika suksesi dan evolusi di Galapagos tidak ada rekaman kapan mulainya, Krakatau justru sebaliknya. Suksesi ekologi di Anak Krakatau tercatat rinci karena setiap perubahan di pulau itu dipantau ahli-ahli biologi dunia sejak awal kemunculannya.

Menurut Tukirin Partomihardjo, ahli botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang lebih dari 30 tahun meneliti di Anak Krakatau, hanya Krakatau-pulau yang sejak letusan dinyatakan steril-selalu terdata populasinya.

Krakatau memberikan pelajaran tentang Bumi yang hidup dan terus tumbuh. Kelahiran dan kematian gunung api, lalu kebangkitan kembali ekologi. Sudahkah kita belajar darinya?

Tukirin adalah satu-satunya peneliti botani dari Indonesia, yang bertahan menekuni suksesi Krakatau, itu pun karena kebetulan. Penelitiannya ke kompleks Krakatau sejak 1980-an, semula gara-gara mendampingi para peneliti dari universitas dan lembaga luar negeri yang datang silih berganti ke sana.

Krakatau selalu jadi rujukan dalam kuliah biogeografi di kampus-kampus besar dunia. Menurut Tracey Louise Parish (2003) dari Universitas Utrecht, Belanda, “Krakatau adalah kasus unik yang tak ternilai, mengisahkan bagaimana penghancuran dan pemulihan kehidupan di alam tropis yang kompleks.”

Sayang, keunikan Krakatau justru belum banyak diapresiasi di negeri sendiri. Itu ditandai dengan minimnya riset ataupun buku-buku tentangnya yang ditulis para ahli kita.–AHMAD ARIF
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Suksesi Krakatau”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Berita ini 115 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB