Catatan Redaksi
Artikel ini merupakan narasi dokumenter-ilmiah yang mencoba menjembatani riset geologi dan kehidupan sehari-hari warga terdampak tanah bergerak di Kabupaten Brebes. Ditulis dengan pendekatan jurnalisme sastrawi, tulisan ini mengajak pembaca tidak hanya memahami gejala tanah bergerak sebagai fenomena fisik, tetapi juga sebagai pengalaman sosial yang –mengguncang kehidupan masyarakat.
————————————————–
Suara dari Tanah
Pada suatu malam menjelang akhir April, Roni (37) sedang menyalakan lampu dapur ketika istrinya, Yanti, menjerit pelan. Ia menunjuk lantai ruang tengah yang tiba-tiba retak memanjang seperti digores parang. “Mas, lantainya mbledhos…” katanya. Suaranya nyaris tak terdengar oleh gemuruh gerimis yang mengetuk atap rumah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Esoknya, tiga rumah di kiri-kanannya retak serupa. Lantai menjingjit, tembok menganga. Di kampung kecil bernama Dukuh Krajan, Desa Mendala, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, tanah mulai bergeser. Perlahan. Diam-diam. Namun pasti.
Ini bukan kali pertama Brebes mengalami tanah bergerak. Lima tahun lalu, di Pasir Panjang, Salem—tak begitu jauh dari Mendala—satu lereng longsor dan menyapu rumah-rumah yang bertengger di punggung bukit. Warga menyebutnya “gunung ambyar.”
Namun pergerakan di Mendala terasa berbeda. Lebih sunyi, lebih menyiksa. Tidak seperti longsor yang datang dengan gelegar dan lumpur pekat, tanah bergerak ini datang seperti demam. Kadang terasa, kadang tidak, namun terus melemahkan. Satu centi, dua centi, lima… sampai akhirnya dinding rumah terbelah dan fondasi amblas.
Profesor Sari Bahagiarti dari UPN “Veteran” Yogyakarta berdiri di atas tanah yang mulai retak itu pada awal Mei. Bersama timnya, ia membawa alat ukur GPS dan palu geologi. Di ujung sepatu boot-nya, tanah basah berwarna kelabu. “Tanah di sini mirip adonan,” katanya. “Jika terus diguyur hujan, dia kehilangan kekuatannya.”
Para ilmuwan menyebutnya gerakan tanah lambat. Ada yang menyebutnya creep. Tanah yang jenuh air perlahan mengalir seperti bubur. Bukan longsor tiba-tiba, tetapi retakan yang menjalar minggu demi minggu.
Mendala terletak di lereng utara Gunung Slamet, gunung berapi tua yang sekarang tidur. Lerengnya curam, tanahnya gembur, dan ditumbuhi sayur-mayur yang dirawat petani harian. Setiap hari, warga membawa cangkul ke ladang, menanam kol dan cabai, tak menyangka bahwa tanah yang mereka pijak sedang menyusun rencana sendiri.
Di ruang tamu Balai Desa, Pak Kepala Desa membuka peta. Ada lima dusun terdampak. Ada ratusan rumah dengan fondasi retak, dinding condong, dan lantai bergelombang seperti kain kusut. “Ini bukan tanah longsor biasa,” katanya. “Ini bencana yang berjalan pelan.”
Di bawah tanah, air dari hujan dasarian ketiga Maret dan April meresap tanpa henti. Air itu menyelinap di antara partikel lempung, mendorong mereka untuk bergerak. Tekanan air pori naik. Gaya geser menurun. Dan akhirnya, tanah mulai berjalan.
Warga menyebutnya “gerakan gaib”. Namun ilmuwan punya jawaban: struktur tanah yang lapuk, topografi terjal, curah hujan ekstrem, dan—yang tak kalah penting—aktivitas manusia yang mengubah hutan menjadi ladang.
Adam Raka Ekasara, peneliti dari UGM, lima tahun lalu sudah memetakan wilayah ini sebagai rawan tinggi gerakan tanah. Dalam tesisnya, ia menulis bahwa “lapisan pasir lanauan dengan kuat geser 9–20 kPa mengapung di atas breksi andesit yang keras.” Dengan kata lain: seperti mentega di atas batu. Jika terlalu banyak air masuk, mentega itu akan tergelincir.
Kajian itu didukung oleh pemodelan menggunakan perangkat lunak SLIDE. Faktor keamanannya menurun drastis saat tanah jenuh air. Itu artinya: lereng-lereng Brebes berada dalam posisi bahaya yang terus mengintai.
Badan Geologi akhirnya turun tangan. Mereka memasang alat pemantau, memetakan zona merah, dan menyatakan kawasan itu tidak layak huni permanen. Pemerintah menyiapkan relokasi ke lahan di Desa Manggis dan Bumiwah. Tapi bagi banyak warga, meninggalkan rumah bukan keputusan mudah.
“Di sinilah saya lahir, menikah, dan membangun rumah dengan menabung bertahun-tahun,” kata Bu Sarmi, 54 tahun, sembari merapikan piring di dapur yang kini miring sebelah. Anaknya sudah dievakuasi, tapi ia masih bertahan. “Kalau rumah ini roboh, saya ikut saja.”
Bencana geologi, dalam banyak kasus, bukan hanya soal tanah dan air. Ia menyentuh sejarah manusia. Setiap retakan di dinding adalah patahan dalam ingatan. Setiap evakuasi adalah perpisahan dengan tempat yang disebut “pulang”.
Di posko pengungsian, anak-anak mulai terbiasa tidur di tenda. Mereka menggambar di buku dengan pensil dari PMI. Di gambar mereka, rumah berdiri di atas tanah yang bergelombang. Ada yang menggambar longsor. Ada yang menggambar gunung menangis.
Di layar laptop, para peneliti menyiapkan model numerik berbasis curah hujan untuk prediksi gerakan tanah. Di desa, para ibu menanak nasi dengan tungku darurat. Di kota, media mulai lupa. Tapi di Brebes, tanah terus bergerak. Tak bersuara, tapi tak berhenti.
Barangkali kita tak bisa menghentikan pergerakan tanah. Tapi kita bisa belajar mengenalinya. Menyadari tanda-tanda awalnya. Memahami peta risikonya. Dan yang paling penting: mendengarkan suara mereka yang hidup di lereng-lereng itu. Sebab tanah, meski diam, selalu memberi peringatan.
Dan peringatan itu kini datang dari Brebes—dari suara kecil retakan di ruang tamu, yang perlahan mengubah desa menjadi sejarah.
“Kita tak bisa memindahkan gunung, tapi bisa memilih untuk tidak tinggal di bawahnya.”
—Catatan lapangan, Sirampog, Mei 2025