Serangan Ulat Bisa Meluas

- Editor

Senin, 11 April 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Serangan ulat bulu berpotensi menyebar lebih luas ke daerah lain di Pulau Jawa. Hal itu disebabkan berkurangnya populasi burung pemakan serangga dan ulat di Pulau Jawa.

”Tingginya intensitas perburuan hingga penggunaan pestisida menyebabkan burung sulit berkembang biak dan mati,” kata ornitolog (ahli burung) dari Universitas Padjadjaran Bandung, Johan Iskandar, Minggu (10/4) di Bandung.

Johan mengatakan, secara umum populasi berbagai macam burung di Pulau Jawa, termasuk burung pemakan serangga dan ulat, jauh berkurang. ”Curah hujan tinggi dan udara lembab adalah waktu yang tepat bagi ulat untuk berkembang biak. Di sisi lain, populasi burung semakin berkurang,” katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Salah satu burung pemakan serangga dan ulat adalah ciblek (Trinia familiaris). Di beberapa daerah, burung ini sudah jarang ditemui karena diburu dengan alasan pembawa keberuntungan. Bahkan, di Jawa Barat burung ini diperkirakan sudah punah.

Burung lain yang biasa ditemukan di lahan basah dan populasinya semakin berkurang adalah kuntul kerbau (Bubulcus ibis). Johan mengatakan, burung pemakan wereng dan ulat ini dulu banyak ditemukan di vegetasi sungai dan sawah.

Asep (34), warga Kampung Rancabayawak, Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, mengatakan, sangat terbantu dengan keberadaan kuntul kerbau. Keberadaan ratusan kuntul kerbau yang bersarang di rumpun bambu di Kampung Rancabayawak membuat sawah bebas hama serangga dan ulat.

”Kuntul biasanya mencari serangga di siang hingga sore hari. Kami tidak perlu membeli pestisida untuk membunuh serangga dan ulat,” katanya.

Kulit sensitif

Meski pihak Kementerian Pertanian menyatakan ulat bulu yang menyerang sejumlah daerah di Jawa tidak menimbulkan gatal, hal itu tetap dapat muncul pada penderita alergi. Bagi orang yang tidak alergi, rasa gatal juga dapat muncul akibat sugesti karena rasa jijik melihat ulat bulu dalam jumlah banyak.

”Orang yang sensitif, penderita biduran, maupun alergi kulit akan mudah terserang gatal-gatal,” kata dokter spesialis kulit dan kelamin Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata, Cibubur, Jakarta, Dewi Inong Irana, Sabtu (9/4).

Jumlah penderita alergi kulit di Indonesia diperkirakan 10-20 persen dari jumlah penduduk.

Secara terpisah, Guru Besar Ilmu Hama Tanaman Institut Pertanian Bogor Aunu Rauf mengatakan, jenis ulat yang menyerang tanaman mangga di Probolinggo, Jawa Timur, yaitu Lymantria marginata dan Arctornis submarginata tidak menimbulkan gatal. Jenis ulat ini berbeda dengan ulat api (uler srengenge, uler geni) yang menimbulkan gatal, panas dan bengkak di kulit.

”Ulat ini hanya menimbulkan gatal ringan pada mereka yang memiliki alergi terhadap bulu dan kulit yang peka,” kata dia.

Bulu ulat mudah patah. Patahan bulu dapat terbawa angin hingga memenuhi udara. Rauf minta agar masyarakat menimbun ulat bulu, bukan membakar, untuk meminimalkan penyebaran bulu ulat melalui udara.

Menurut Dewi, gatal yang muncul tidak hanya akibat kontak dengan ulat bulu. Udara yang dipenuhi bulu ulat dan terhirup mereka yang sensitif juga dapat menimbulkan gangguan.

Risiko yang muncul tidak hanya pada penderita alergi kulit, tetapi juga bagi penderita asma maupun rinitis alergika. Reaksi yang muncul tidak hanya gatal di kulit, tetapi bisa menyerang selaput lendir lain hingga menimbulkan mata merah dan gatal, bibir bengkak, maupun hidung berlendir. Serangan pada selaput lendir juga bisa memicu penutupan saluran napas.

”Jika dampaknya parah hingga menyerang selaput lendir, penderita harus segera dibawa ke dokter untuk mendapat antialergi,” katanya. (CHE/MZW)

Sumber: Kompas, 11 April 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB