Sel Punca Berpotensi Sebagai Terapi Penyakit Huntington

- Editor

Rabu, 30 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sel punca diteliti sebagai metode terapi penyakit huntington. Riset telah memasuki fase ketiga sehingga dalam waktu dekat diharapkan bisa digunakan untuk pengobatan bagi penderita penyakit tersebut.

Negara yang meneliti terapi penyakit huntington memakai sel punca ialah Inggris di bawah Direktur Pusat Penelitian Penyakit Huntington University College London Sarah Tabrizi. Di Asia, studi itu belum dilakukan meski belum ada bukti penyakit itu hanya menyerang orang dengan gen kaukasoid.

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Pakar biologi molekuler dari Universitas Milano, Italia, Elena Cattaneo, memberi presentasi mengenai penyakit Huntington di Lembaga Eijkman, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Sel punca disuntikkan ke tulang sumsum pasien,” kata Profesor Studi Genetika Molekuler Universitas Milano, Italia, Elena Cattaneo di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

Dalam seminar sains itu, Cattaneo memaparkan tentang kekuatan penelitian genetik dari zaman purba ke zaman modern. Ia merupakan salah satu pakar biologi molekuler dunia yang turut meneliti penyakit Huntington.

Penyakit huntington merupakan penyakit genetika atau menurun dari orangtua ke anak dan menyerang saraf sehingga individu kehilangan kendali atas gerak tubuhnya. Selain membuat tubuh bergerak secara ekstrem, penyakit itu mengakibatkan penderita mengalami gangguan kejiwaan.

Sejauh ini, belum ditemukan obat penyakit huntinton hingga ada riset sel punca itu. Penyebab penyakit huntington ialah mutasi pada Kromosom 4, tepatnya Exon 1. Di dalam Exon itu, terjadi repetisi gen CAG lebih dari 36 kali. Pada manusia sehat, repetisi gen CAG sebanyak 9-35 kali.

”Penyakit huntington akan lebih parah jika diturunkan dari ayah ke anak daripada ibu ke anak,” ucap Cattaneo. Anak yang mendapat penyakit huntington dari ayah dan ibu umumnya tak berumur panjang. Sedikit pasien di usia kanak-kanak dengan repetisi CAG di atas 60 mencapai usia pubertas.

Dalam riset, sel punca disuntikkan ke sumsum pasien sehingga menurunkan frekuensi repetisi gen CAG. Hasil riset fase pertama menunjukkan terapi sel punca mengurangi repetisi CAG pasien penyakit huntington 50 persen. Penyakit huntington lebih kompleks dibanding penyakit saraf lain.

Menurut Direktur Lembaga Eijkman Amin Soebandrio, riset sel punca di Indonesia baru untuk penyakit talasemia karena ada banyak pasien. ”Biasanya ada laporan dokter atau rumah sakit terkait temuan pasien penyakit ini,” ujarnya.

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Kiri ke kanan: Kuasa Usaha ad Interim kedutaan Besar Italia di Jakarta Giovanni Brignone, pakar biologi kelautan Universitas Politeknik Merche Mario Giordano, pakar biologi molekuler Universitas Milano Elena Cattaneo, Direktur Lembaga Eijkman Amin Soebandrio, dan peneliti senior Lembaga Eijkman Safarina G Malik seusai presentasi ilmiah di Jakarta, Selasa (29/1/2019).

Seminar sains itu merupakan peringatan 70 tahun kerja sama Indonesia dan Italia. Kedutaan Besar Italia di Jakarta mendatangkan dua ahli, yaitu Cattaneo dan ahli biologi kelautan dari Universitas Politeknik Marche, Mario Giordano, untuk memberi kuliah di Lembaga Eijkman.

Giordano yang meneliti tentang penyerapan karbondioksida dengan menggunakan alga mengatakan, kolaborasi peneliti Indonesia-Italia sudah banyak dilakukan, terutama terkait terumbu karang dan keanekaragaman hayati maritim. “Kendala terbesar adalah pembiayaan riset. Butuh kepedulian pemerintah kedua negara maupun lembaga-lembaga lain yang bisa mensponsorinya,” ujarnya.

Selain kemaritiman, beberapa aspek yang bisa dilakukan kolaborasi ialah penelitian mengenai vulkanologi dan seismologi karena kedua negara memiliki risiko gempa dan erupsi gunung berapi. Adapun di sektor kesehatan, Italia adalah salah satu negara termaju di bidang farmasi dan biomedis.

Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR

Sumber: Kompas, 30 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB