Penderita Kanker Limfoma Punya Harapan Baru

- Editor

Kamis, 12 Oktober 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penderita kanker limfoma atau kanker kelenjar getah bening berharap pemerintah mempertimbangkan pengaplikasian terapi sel punca pada kanker limfoma yang berpotensi membantu kondisi mereka. Hingga saat ini, mereka terus berusaha untuk berbagi informasi mengenai terobosan pengobatan yang dapat membantu kondisi mereka.

Infodatin Kementerian Kesehatan 2015 mengenai Data dan Kondisi Penyakit Limfoma di Indonesia menjabarkan, sekitar satu juta orang di dunia menderita kanker limfoma dan 1.000 orang didiagnosis menderita limfoma setiap hari. Terdapat dua tipe kanker limfoma, yaitu limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma non-Hodgkin (LNH). Sekitar 90 persen orang merupakan penderita LH.

Jumlah penderita kanker limfoma di Indonesia belum terlalu signifikan, tetapi mengalami pertambahan setiap tahun. Koordinator Divisi Kanker Limfoma Cancer Information and Support Center (CISC) Dian Anggraini menyatakan, divisi yang baru dibentuk sekitar satu tahun lalu itu awalnya beranggotakan sekitar 10 orang. Namun, kini anggotanya telah mencapai 142 orang yang semuanya merupakan penyintas kanker limfoma.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketua Umum CISC Aryanthi Baramuli Putri menyebutkan, posisi kanker limfoma tidak berada dalam urutan teratas kanker pembunuh di Indonesia sehingga informasi mengenai kanker ini masih dirasa kurang. Berbagi informasi antara penyintas kanker limfoma dari dalam dan luar negeri memberikan harapan baru kepada penderita. Apalagi, belum semua penderita mengetahui potensi terapi sel punca dalam pengobatan.

”Para penderita antusias mendengar kemungkinan itu. Di Indonesia sudah ada terapi sel punca, tetapi belum (diterapkan pada penderita kanker limfoma). Kami senang dapat bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia sehingga dapat berbagi pengalaman,” tutur Aryanthi seusai acara support group discussion dengan tema ”Berbagi Pengalaman dan Inspirasi Relawan Kanker bersama Ethan Zohn”, di Jakarta, Rabu (11/10).

Ethan Zohn, mantan atlet profesional, adalah seorang penyintas kanker limfoma yang menjalani dua kali terapi sel punca setelah divonis menderita tipe kanker langka, yaitu kanker limfoma Hodgkin CD20-positif stadium 2B pada 2009.

”Saya menjalani terapi sel punca autologous. Namun, setelah 20 bulan kondisi saya kembali memburuk pada 2011. Saya menjalani terapi sel punca allogenic setelah mendapatkan transplantasi sel kakak saya,” ungkap Ethan. Terapi sel punca populer di AS untuk menyembuhkan kanker darah dan limfoma.

Terapi sel punca mulai dikembangkan di dunia pada 1996 untuk menangani penyakit degeneratif atau penurunan fungsi tubuh, mutasi, dan keganasan sel. Terapi dilakukan dengan menyuntikkan sel punca atau sel induk yang belum terdiferensiasi menjadi sel matang ke pasien untuk memperbaiki organ atau jaringan tubuh yang rusak.

Sel punca dapat diambil dari tubuh pasien sendiri (autologous) ataupun orang lain (allogenic). Di Indonesia, terapi ini masih dalam penelitian dan pengembangan sejak 2007. Baru-baru ini, terapi sel punca berhasil memberikan perbaikan 30 hingga 100 persen untuk penyakit seperti diabetes melitus, nyeri sendi pada lutut, stroke, dan jantung di Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur (Kompas, 14/8).

Ethan mengatakan, jumlah dana yang dihabiskannya untuk terapi sel punca autologous sebesar 300.000 dollar AS atau setara Rp 4,056 miliar dengan kurs Rp 13.523. Jumlah ini di luar biaya pengobatan dan perawatan selama dia sakit. Bahkan, terapi sel punca allogenic yang dia jalani setelahnya dinyatakan melebihi biaya terapi yang pertama.

Direktur @america dan Deputy Cultural Affairs Attaché Kedubes AS Jed Taro Dornburg mengatakan, Pemerintah AS berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. ”Salah satu dari banyak cara yang kami lakukan adalah dengan membawa penyintas kanker untuk berbagi pengalaman dalam menghadapi kanker,” ujar Jed. (DD13)–ELSA EMIRIA LEBA

Sumber: Kompas, 12 Oktober 2017

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum
3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum
Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023
Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023
Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023
Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Senin, 13 November 2023 - 13:46 WIB

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 November 2023 - 13:42 WIB

3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum

Senin, 13 November 2023 - 13:37 WIB

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:01 WIB

Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:52 WIB

Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:42 WIB

Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika

Berita Terbaru

Berita

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 Nov 2023 - 13:46 WIB

Berita

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 Nov 2023 - 13:37 WIB