Dari anggaran Rp 1 triliun setiap tahun, riset dan inovasi terkait isu sampah hanya mengambil porsi Rp 32,5 miliar sepanjang 2015-2020. Basis riset yang kuat dibutuhkan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat.
Riset dan inovasi yang dilakukan terkait isu persampahan masih minim di Indonesia. Permasalahan sampah membutuhkan kebijakan dan regulasi berbasis kajian ilmiah agar bisa memberikan solusi dalam pengurangan dan penanganan sampah, khususnya jenis sampah plastik.
Data Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) menunjukkan, selama lima tahun terakhir, tahun 2015-2020, hanya terdapat 475 penelitian terkait sampah dengan alokasi dana Rp 32,5 miliar. Peluang meningkatkan tema sampah, khususnya riset dan inovasi terkait penanganan sampah di laut, kini makin terbuka karena Tim Kerja Penanganan Sampah Laut meminta Kemenristek membantu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristek Teknologi Ocky Karna Radjasa, Kamis (11/6/2020), di Jakarta, mengatakan, pihaknya setiap tahun mengelola dana riset Rp 1 triliun hingga Rp 1,4 triliun. Ia berharap di masa mendatang riset dan inovasi terkait penanganan sampah meningkat seiring prioritas riset nasional 2020-2024 yang membuka peluang lebih baik untuk pengalokasian penanganan sampah laut.
”Saya kebetulan juga amanah untuk kelompok kerja yang menangani riset sampah laut, diharap ada banyak kontribusi, mendanai riset untuk mendukung riset terkait sampah laut,” katanya dalam diskusi daring Inovasi Penanganan Sampah untuk Laut yang Berkelanjutan oleh Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut
DIREKTORAT RISET DAN PENGABDIAN MASYARAKAT KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI—Paparan Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi Ocky Karna Radjasa ini menunjukkan dana yang digulirkan untuk riset terkait sampah sepanjang 2015-2020 hanya Rp 32,5 miliar. Ini jauh dari total anggaran riset dan inovasi yang mencapai Rp 1 triliun-Rp 1,4 triliun per tahun. Ini dipresentasikannya pada diskusi daring, Kamis (11/6/2020).
Khusus terkait riset sampah di laut, terdapat riset tahun 2016 di Jepang yang menemukan bakteri Ideonella sakaiensis yang bisa mengonsumsi plastik, terutama jenis Polyethylene terephthalaten (PET). Plastik jenis ini umumnya digunakan untuk botol minuman dalam kemasan.
Pengembangan bakteri ini diharapkan bisa dimanfaatkan untuk membantu mendegradasi sampah plastik dalam proses biorecycling. Gen bakteri tersebut telah dikembangkan lebih lanjut dengan ditanamkan pada alga diatom (Phaeodactylum tricornutum) sehingga menghasilkan enzim PET-ase.
Pada masa pandemi Covid-19, pihaknya baru menerima proposal riset pada Oktober 2020 untuk pendanaan tahun 2021. ”Pengembangan mikroorganisme akan jadi salah satu topik (riset). Ini jadi komitmen nasional. Saya pikirkan apakah nanti (pemberian dana riset melalui) open competition atau penugasan. Yang pasti pengalokasian sedang disiapkan,” katanya.
Penelitian-penelitian lain yang prospektif untuk pengurangan sampah yaitu terkait material ramah lingkungan. Muhammad Ghozali, peneliti Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencontohkan sejumlah riset yang dilakukannya untuk mencari bahan pengganti plastik. Bersama Balai Besar Pascapanen Kementerian Pertanian, ia dan tim peneliti membuat biofoam sebagai pengganti styrofoam.
Bahan bakunya menggunakan limbah sisa panen. Hasil uji menunjukkan biofoam ini tahan panas dan terdegradasi sempurna saat dikomposkan selama dua pekan.
Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik mengharapkan agar riset dan inovasi juga menyentuh isu rekayasa sosial. Sebagai contoh, saat pemerintah mengawali pengembangan bank sampah, hal itu merupakan rekayasa sosial untuk mengedukasi publik dalam memilah sampah.
Contoh lain, saat Pemkot Banjarmasin melarang toko ritel untuk menyediakan kantong plastik, masyarakat beralih pada kantong belanja tradisional dari pandan gambut (purun). Ini merangsang inovasi usaha kecil menengah setempat untuk membuat kantong belanja dari purun.
Di sisi lain, ia mengingatkan agar inovasi penanganan sampah tidak menimbulkan persoalan baru. Contohnya, pembuatan paving block berbahan sampah plastik yang dilelehkan dengan cara membakar. Kegiatan itu bisa menimbulkan emisi gas dioksin yang berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 11 Juni 2020