Perkembangan energi bersih secara masif akan memasuki babak baru. Reaktor nuklir dengan basis reaksi fusi diperkirakan akan mulai beroperasi pada tahun 2025.
Reaktor nuklir dengan basis reaksi fusi diperkirakan akan mulai beroperasi pada tahun 2025. Jika pembangunan reaktor nuklir tipe ini berhasil diwujudkan, maka reaktor ini akan menjadi tonggak penting bagi pengembangan energi bersih secara masif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama ini, reaktor nuklir yang ada masih menggunakan basis reaksi fisi, kebalikan dari reaksi fusi. Reaksi fisi adalah pembelahan inti atom. Dalam proses pembelahan ini, material yang dapat membelah yang paling banyak digunakan adalah Uranium-235.
Proses reaksi fisi juga terjadi dalam bom nuklir. Namun dalam reaktor nuklir reaksi fisi, pembelahan atom itu dikendalikan atau dikontrol sehinggga energi yang dihasilkan dari pembelahan itu dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan panas atau listrik.
Namun sejumlah kasus kecelakaan reaktor nuklir reaksi fisi, baik karena keteledoran manusia maupun bencana alam, membuat trauma dunia yang berkepanjangan dalam penggunaan nuklir. Padahal, reaktor nuklir merupakan sumber energgi bersih yang mampu menghasilkan listrik dengan emisi karbon sangat rendah.
Karena itu, selama beberapa dekade terakhir, sejumlah ahli merancang reaktor nuklir reaksi fusi. Reaksi fusi adalah reaksi yang terjadi di bintang-bintang, termasuk Matahari. Reaktor tipe ini diharapkan mampu memberi jawaban atas trauma dunia terhadap keamanan energi nuklir karena reaktor fusi dianggap memiliki tingkat keselamatan lebih baik.
Jika reaksi fisi merupakan pembelahan inti, maka reaksi fusi adalah penggabungan inti. Selama proses fusi, atom-atom akan dipaksa bergabung membentuk atom yang lebih berat, sekaligus melepaskan energi. Energi yang dilepaskan itu berupa cahaya dan panas dalam jumlah yang sangat besar.
Namun, mendorong terjadinya reaksi fusi tidak mudah. Di bintang, reaksi fusi bisa terjadi karena adanya gaya gravitasi dari inti bintang yang sangat besar hingga menghasilkan suhu yang sangat besar pula. Suhu ekstrem tinggi itulah yang mendorong hidrogen bergabung membentuk helium.
Karena itu, untuk mendorong terjadinya penggabungan inti atom dalam reaktor nuklir di Bumi dibutuhkan energi yang sangat besar hingga mampu menghasilkan suhu sekitar 100 juta derajat celsius. Meski demikian, reaksi fusi mampu menghasilkan energi yang jauh lebih besar dibanding energi yang dibutuhkan untuk mendorong fusi.
Selain itu, reaksi fusi juga tidak menghasilkan berbagai polutan dan gas rumah kaca seperti karbon dioksida, yang mendorong pemanasan global. Sementara bahan yang dibutuhkan dalam reaksi fusi tersebut, yaitu hidrogen, sangat berlimpah jumlahnya di Bumi hingga mampu memenuhi kebutuhan energi manusia selama jutaan tahun.
“Kita membutuhkan solusi untuk mengatasi pemanasan global. Jika tidak, peradaban manusia ada dalam masalah besar. Reaktor fusi ini akan membantu menyelesaikan persoalan tersebut,” kata peneliti yang juga ahli fisika plasma di Institut Teknologi Massachusetts, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, Martin Greenwald, seperti dikutip Live Science, Kamis (1/10/2020).
Saat ini, sebagian besar reaktor fusi eksperimental di dunia menggunakan desain reaktor fusi Rusia berbentuk donat yang dinamakan tokamak. Model reaktor ini cukup kuat untuk menimbulkan medan magnet yang mampu mengurung awan plasma atau gas terionisasi pada temperatur yang sangat ekstrem hingga mampu mendorong penggabungan atom.
Model baru dari reaktor fusi eksperimental yang sedang dikembangkan para ahli dan perekayasa dari MIT ini dinamakan SPARC (Soonest/Smallest Private-Funded Affordable Robust Compact). Piranti ini dikembangkan melalui perusahaan bernama Commonwealth Fusion Systems.
Jika berhasil, SPARC akan menjadi perangkat pertama yang mencapai kondisi yang disebut “plasma terbakar”. Ini adalah kondisi yang memungkinkan semua panas dari reaksi fusi menjaga proses fusi itu tetap berlangsung tanpa memerlukan energi ekstra.
Namun hingga kini, belum ada pihak mana pun di dunia yang sudah bisa menggunakan energi dari ‘plasma terbakar’ tersebut dalam reaksi terkontrol di Bumi. Karena itu, riset lebih lanjut masih diperlukan sebelum SPARC benar-benar bisa digunakan.
Pesaing
Proyek SPARC diluncurkan pada 2018 dan dijadwalkan akan memulai pembangun reaktor pada Juni 2021. Reaktor tersebut diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2025. Rangkaian proses pembuatan SPARC mulai dari peluncuran program hingga target operasi itu terhitung sangat cepat.
Saat ini, proyek pembangit listrik fusi terbesar di dunia bernama International Thermonuclear Experimental Reactor (ITER) yang dirancang sejak 1985 sedang berjalan, namun baru diluncurkan pada 2007. Pembangunan reaktor ini baru dilakukan pada 2013 dan diharapkan menghasilkan reaksi fusi tahun 2035.
Salah satu keunggulan SPARC dibanding ITER yakni SPARC memakai magnet superkonduktor temperatur tinggi yang baru ada di pasaran dalam 3-5 tahun terakhir, jauh setelah ITER dirancang. Magnet ini mampu menghasilkan medan magnet yang jauh lebih kuat dibanding yang dihasilkan ITER, yaitu maksimum mencapai 21 tesla, sedangkan medan magnet yang dihasilkan ITER maksimum hanya 12 tesla.
Meski kekuatan medan magnet yang dihasilkan SPARC jauh lebih besar, namun inti SPARC memiliki diameter 3-5 lebih kecil dan volume 60-70 kali lebih kecil dibanding diameter dan volume inti ITER. Diamater inti SPARC direncanakan hanya sepanjang 6 meter saja. “Penurunan ukuran inti yang luar biasa itu akan mengurangi berat dan biaya pembangunan reaktor secara signifikan. Ini benar-benar perubahan,” kata Greenwald.
Dalam tujuh studi terbaru yang dipublikasikan di Journal of Plasma Physics pada 29 September 2020, para peneltii merancang SPARC menggunakan perhitungan dan simulasi dengan superkomputer. SPRAC diharapkan mampu menghasilkan energi 2-10 kali lebih banyak dari energi yang dipompakan.
Panas yang dihasilkan dari rektor fusi itu akan digunakan untuk memproduksi uap. Uap tersebut akan dipakai untuk menggerakkan turbin dan generator listrik. Proses ini mirip dengan cara pembangkitan listrik yang terjadi di banyak pembangkit saat ini.
Karena itu, “Pembangkit listrik energi fusi dapat menggantikan satu per satu pembangkit listrik energi fosil yang ada saat ini, tanpa perlu merestrukturisasi ulang jaringan listriknya,” tambah Greenwald. Ini menjadi keunggulan energi nuklir sebagai energi terbarukan dibanding sumber energi terbarukan lain, seperti sinar Matahari dan angin, yang umumnya kurang mengakomodasi desain jaringan listrik yang ada.
Para peneliti berharap pembangkit listrik energi fusi yang menggunakan SPARC mampu menghasilkan 250-1.000 megawatt listrik. Selain itu, SPARC saat ini hanya menghasilkan panas, bukan listrik. Ke depan setelah SPARC dibangun dan diuji, para peneliti berencana membangun reaktor ARC (Affordable Robust Compact), yang akan menghasilkan listrik dari panas tersebut pada tahun 2035.
“Proyek ini sangat ambisius, tetapi ini adalah target yang sedang kami upayakan. Saya pikir itu masuk akal,” kata Greenwald.
Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 6 Oktober 2020