Reaktor Nuklir Reaksi Fusi Ditargetkan Ada Tahun 2025

- Editor

Rabu, 7 Oktober 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perkembangan energi bersih secara masif akan memasuki babak baru. Reaktor nuklir dengan basis reaksi fusi diperkirakan akan mulai beroperasi pada tahun 2025.

KOMPAS/T HENDERSION/CFS/MIT-PSFC—Rancangan reaktor nuklir reaksi fusi SPARC (Soonest/Smallest Private-Funded Affordable Robust Compact) yang dibuat oleh tim dari Institut Teknologi Massachusetts, Amerika Serikat dan perusahaan Commonwealth Fusion Systems. Reaktor ini diharapkan mulai beroperasi pada 2025.

Reaktor nuklir dengan basis reaksi fusi diperkirakan akan mulai beroperasi pada tahun 2025. Jika pembangunan reaktor nuklir tipe ini berhasil diwujudkan, maka reaktor ini akan menjadi tonggak penting bagi pengembangan energi bersih secara masif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selama ini, reaktor nuklir yang ada masih menggunakan basis reaksi fisi, kebalikan dari reaksi fusi. Reaksi fisi adalah pembelahan inti atom. Dalam proses pembelahan ini, material yang dapat membelah yang paling banyak digunakan adalah Uranium-235.

Proses reaksi fisi juga terjadi dalam bom nuklir. Namun dalam reaktor nuklir reaksi fisi, pembelahan atom itu dikendalikan atau dikontrol sehinggga energi yang dihasilkan dari pembelahan itu dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan panas atau listrik.

Namun sejumlah kasus kecelakaan reaktor nuklir reaksi fisi, baik karena keteledoran manusia maupun bencana alam, membuat trauma dunia yang berkepanjangan dalam penggunaan nuklir. Padahal, reaktor nuklir merupakan sumber energgi bersih yang mampu menghasilkan listrik dengan emisi karbon sangat rendah.

Karena itu, selama beberapa dekade terakhir, sejumlah ahli merancang reaktor nuklir reaksi fusi. Reaksi fusi adalah reaksi yang terjadi di bintang-bintang, termasuk Matahari. Reaktor tipe ini diharapkan mampu memberi jawaban atas trauma dunia terhadap keamanan energi nuklir karena reaktor fusi dianggap memiliki tingkat keselamatan lebih baik.

KOMPAS/ARIS PRASETYO—Ruangan mesin turbin pada PLTN Novovoronezh Unit 6 berkapasitas 1.200 megawatt, Kamis (8/9/2018). PLTN Novovoronezh itu dioperasikan oleh Rosatom, perusahaan listrik milik Rusia.

Jika reaksi fisi merupakan pembelahan inti, maka reaksi fusi adalah penggabungan inti. Selama proses fusi, atom-atom akan dipaksa bergabung membentuk atom yang lebih berat, sekaligus melepaskan energi. Energi yang dilepaskan itu berupa cahaya dan panas dalam jumlah yang sangat besar.

Namun, mendorong terjadinya reaksi fusi tidak mudah. Di bintang, reaksi fusi bisa terjadi karena adanya gaya gravitasi dari inti bintang yang sangat besar hingga menghasilkan suhu yang sangat besar pula. Suhu ekstrem tinggi itulah yang mendorong hidrogen bergabung membentuk helium.

Karena itu, untuk mendorong terjadinya penggabungan inti atom dalam reaktor nuklir di Bumi dibutuhkan energi yang sangat besar hingga mampu menghasilkan suhu sekitar 100 juta derajat celsius. Meski demikian, reaksi fusi mampu menghasilkan energi yang jauh lebih besar dibanding energi yang dibutuhkan untuk mendorong fusi.

Selain itu, reaksi fusi juga tidak menghasilkan berbagai polutan dan gas rumah kaca seperti karbon dioksida, yang mendorong pemanasan global. Sementara bahan yang dibutuhkan dalam reaksi fusi tersebut, yaitu hidrogen, sangat berlimpah jumlahnya di Bumi hingga mampu memenuhi kebutuhan energi manusia selama jutaan tahun.

“Kita membutuhkan solusi untuk mengatasi pemanasan global. Jika tidak, peradaban manusia ada dalam masalah besar. Reaktor fusi ini akan membantu menyelesaikan persoalan tersebut,” kata peneliti yang juga ahli fisika plasma di Institut Teknologi Massachusetts, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, Martin Greenwald, seperti dikutip Live Science, Kamis (1/10/2020).

AFP/BARAKAH NUCLEAR POWER PLANT—Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Barakah, reaktor nuklir pertama di dunia Arab, berlokasi di wilayah Gharbiya, kawasan pantai sebelah barat Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, dalam foto yang diperoleh dari kantor media PLTN Barakah, 13 Februari 2020.

Saat ini, sebagian besar reaktor fusi eksperimental di dunia menggunakan desain reaktor fusi Rusia berbentuk donat yang dinamakan tokamak. Model reaktor ini cukup kuat untuk menimbulkan medan magnet yang mampu mengurung awan plasma atau gas terionisasi pada temperatur yang sangat ekstrem hingga mampu mendorong penggabungan atom.

Model baru dari reaktor fusi eksperimental yang sedang dikembangkan para ahli dan perekayasa dari MIT ini dinamakan SPARC (Soonest/Smallest Private-Funded Affordable Robust Compact). Piranti ini dikembangkan melalui perusahaan bernama Commonwealth Fusion Systems.

Jika berhasil, SPARC akan menjadi perangkat pertama yang mencapai kondisi yang disebut “plasma terbakar”. Ini adalah kondisi yang memungkinkan semua panas dari reaksi fusi menjaga proses fusi itu tetap berlangsung tanpa memerlukan energi ekstra.

Namun hingga kini, belum ada pihak mana pun di dunia yang sudah bisa menggunakan energi dari ‘plasma terbakar’ tersebut dalam reaksi terkontrol di Bumi. Karena itu, riset lebih lanjut masih diperlukan sebelum SPARC benar-benar bisa digunakan.

Pesaing
Proyek SPARC diluncurkan pada 2018 dan dijadwalkan akan memulai pembangun reaktor pada Juni 2021. Reaktor tersebut diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2025. Rangkaian proses pembuatan SPARC mulai dari peluncuran program hingga target operasi itu terhitung sangat cepat.

Saat ini, proyek pembangit listrik fusi terbesar di dunia bernama International Thermonuclear Experimental Reactor (ITER) yang dirancang sejak 1985 sedang berjalan, namun baru diluncurkan pada 2007. Pembangunan reaktor ini baru dilakukan pada 2013 dan diharapkan menghasilkan reaksi fusi tahun 2035.

AP PHOTO/KYODO NEWS—Foto udara yang diambil 20 Agustus 2013 ini menunjukkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi di Okuma, Prefektur Fukushima, Jepang.

Salah satu keunggulan SPARC dibanding ITER yakni SPARC memakai magnet superkonduktor temperatur tinggi yang baru ada di pasaran dalam 3-5 tahun terakhir, jauh setelah ITER dirancang. Magnet ini mampu menghasilkan medan magnet yang jauh lebih kuat dibanding yang dihasilkan ITER, yaitu maksimum mencapai 21 tesla, sedangkan medan magnet yang dihasilkan ITER maksimum hanya 12 tesla.

Meski kekuatan medan magnet yang dihasilkan SPARC jauh lebih besar, namun inti SPARC memiliki diameter 3-5 lebih kecil dan volume 60-70 kali lebih kecil dibanding diameter dan volume inti ITER. Diamater inti SPARC direncanakan hanya sepanjang 6 meter saja. “Penurunan ukuran inti yang luar biasa itu akan mengurangi berat dan biaya pembangunan reaktor secara signifikan. Ini benar-benar perubahan,” kata Greenwald.

Dalam tujuh studi terbaru yang dipublikasikan di Journal of Plasma Physics pada 29 September 2020, para peneltii merancang SPARC menggunakan perhitungan dan simulasi dengan superkomputer. SPRAC diharapkan mampu menghasilkan energi 2-10 kali lebih banyak dari energi yang dipompakan.

Panas yang dihasilkan dari rektor fusi itu akan digunakan untuk memproduksi uap. Uap tersebut akan dipakai untuk menggerakkan turbin dan generator listrik. Proses ini mirip dengan cara pembangkitan listrik yang terjadi di banyak pembangkit saat ini.

Karena itu, “Pembangkit listrik energi fusi dapat menggantikan satu per satu pembangkit listrik energi fosil yang ada saat ini, tanpa perlu merestrukturisasi ulang jaringan listriknya,” tambah Greenwald. Ini menjadi keunggulan energi nuklir sebagai energi terbarukan dibanding sumber energi terbarukan lain, seperti sinar Matahari dan angin, yang umumnya kurang mengakomodasi desain jaringan listrik yang ada.

KOMPAS/ARIS PRASETYO—Foto ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang dioperasikan Rosatom, perusahaan penyedia listrik milik Rusia. Foto ini diambil dari sampul buku profil Rosatom.

Para peneliti berharap pembangkit listrik energi fusi yang menggunakan SPARC mampu menghasilkan 250-1.000 megawatt listrik. Selain itu, SPARC saat ini hanya menghasilkan panas, bukan listrik. Ke depan setelah SPARC dibangun dan diuji, para peneliti berencana membangun reaktor ARC (Affordable Robust Compact), yang akan menghasilkan listrik dari panas tersebut pada tahun 2035.

“Proyek ini sangat ambisius, tetapi ini adalah target yang sedang kami upayakan. Saya pikir itu masuk akal,” kata Greenwald.

Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 6 Oktober 2020

 

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB