Meski jumlah remaja menikah selama 30 tahun terakhir turun lebih dari separuh, pernikahan remaja umur 15-19 tahun tetap tinggi. Bahkan, di perkotaan, jumlahnya cenderung naik. Jika tak segera ditangani, produktivitas bangsa yang jadi modal memenangi persaingan global dan mencapai bonus demografi bisa terancam.
Pernikahan remaja atau dalam Konvensi Hak-hak Anak disebut pernikahan anak berdampak besar pada kesehatan ibu yang masih anak dan anaknya. Kesejahteraan dan ketahanan keluarga sebagai wahana mendidik dan menyiapkan generasi penerus bangsa bermutu pun terimbas.
“Jika dibiarkan, pernikahan anak akan berdampak pada produktivitas remaja dan penduduk dewasa,” kata ahli komunikasi Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Maria Endah Hulupi dalam Pertemuan Remaja memperingati Hari Kependudukan Dunia 2017, di Jakarta, Selasa (8/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini Indonesia butuh sumber daya manusia produktif besar untuk pembangunan. Namun, upaya menggenjot mutu manusia Indonesia tak mudah.
Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, 2015, menyebut lebih seperenam anak perempuan nikah sebelum umur 18 tahun atau sekitar 340.000 anak perempuan setiap tahun.
Perkawinan di bawah usia 15 tahun turun, tetapi pernikahan usia 16-17 tahun justru melonjak. Diduga, banyak umur anak di bawah 15 tahun dinaikkan demi mengejar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan umur mempelai perempuan minimal 16 tahun.
Di sisi lain, perkawinan remaja perempuan di perkotaan meningkat. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 dan 2012 menyebut, dari 1.000 perempuan umur 15-19 tahun, jumlah yang melahirkan turun dari 51 orang menjadi 48 remaja. Namun, jumlahnya di perkotaan naik dari 26 orang menjadi 32 orang per 1.000 remaja perempuan.
Faktor lingkungan
“Dorongan lingkungan memicu banyak remaja terjebak nikah di usia muda,” kata Loveria Sekarrini dari Petualang Inspiratif, komunitas penikmat perjalanan dan berbagi bidang kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.
Dorongan lingkungan itu bisa berupa tekanan sebaya untuk memiliki pacar, tekanan orangtua untuk menikah agar tak terjebak dosa, dan pola pacaran keliru sampai memicu kehamilan di luar nikah. Komunikasi buruk orangtua dan anak juga membuat anak tak bisa menentukan keinginan terkait perkawinan.
Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty, mereka yang menikah sebelum 18 tahun umumnya dari kelompok ekonomi kurang mampu, berpendidikan rendah, dan 85 persen di antaranya putus sekolah.
Konsekuensinya, banyak anak perempuan tak punya bekal memadai menempuh kehidupan selanjutnya. Meski perkawinan anak umumnya diharapkan bisa membantu ekonomi keluarga, nyatanya banyak yang terjebak lingkaran kemiskinan.
Anak perempuan yang nikah juga rentan mengalami kecemasan, depresi, dan berpikir bunuh diri. Pernikahan dini membuat mereka kehilangan dukungan dan kendali atas hidup mereka. Mereka juga rentan mengalami kekerasan fisik, seksual, dan emosional. Hubungan seks saat usia remaja, ketika organ reproduksi belum siap, meningkatkan risiko penyakit kanker serviks.
Sementara bayi yang lahir dari ibu usia anak berisiko dua kali lebih tinggi meninggal sebelum umur satu tahun, lahir prematur, lahir dengan berat badan rendah, dan kekurangan gizi. “Karena itu, perlu pendewasaan usia perkawinan,” kata Surya. (MZW)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2017, di halaman 16 dengan judul “Produktivitas Bangsa Terancam”.