Produktivitas Bangsa Terancam

- Editor

Minggu, 9 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Meski jumlah remaja menikah selama 30 tahun terakhir turun lebih dari separuh, pernikahan remaja umur 15-19 tahun tetap tinggi. Bahkan, di perkotaan, jumlahnya cenderung naik. Jika tak segera ditangani, produktivitas bangsa yang jadi modal memenangi persaingan global dan mencapai bonus demografi bisa terancam.

Pernikahan remaja atau dalam Konvensi Hak-hak Anak disebut pernikahan anak berdampak besar pada kesehatan ibu yang masih anak dan anaknya. Kesejahteraan dan ketahanan keluarga sebagai wahana mendidik dan menyiapkan generasi penerus bangsa bermutu pun terimbas.

“Jika dibiarkan, pernikahan anak akan berdampak pada produktivitas remaja dan penduduk dewasa,” kata ahli komunikasi Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Maria Endah Hulupi dalam Pertemuan Remaja memperingati Hari Kependudukan Dunia 2017, di Jakarta, Selasa (8/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saat ini Indonesia butuh sumber daya manusia produktif besar untuk pembangunan. Namun, upaya menggenjot mutu manusia Indonesia tak mudah.

Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, 2015, menyebut lebih seperenam anak perempuan nikah sebelum umur 18 tahun atau sekitar 340.000 anak perempuan setiap tahun.

Perkawinan di bawah usia 15 tahun turun, tetapi pernikahan usia 16-17 tahun justru melonjak. Diduga, banyak umur anak di bawah 15 tahun dinaikkan demi mengejar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan umur mempelai perempuan minimal 16 tahun.

Di sisi lain, perkawinan remaja perempuan di perkotaan meningkat. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 dan 2012 menyebut, dari 1.000 perempuan umur 15-19 tahun, jumlah yang melahirkan turun dari 51 orang menjadi 48 remaja. Namun, jumlahnya di perkotaan naik dari 26 orang menjadi 32 orang per 1.000 remaja perempuan.

Faktor lingkungan
“Dorongan lingkungan memicu banyak remaja terjebak nikah di usia muda,” kata Loveria Sekarrini dari Petualang Inspiratif, komunitas penikmat perjalanan dan berbagi bidang kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.

Dorongan lingkungan itu bisa berupa tekanan sebaya untuk memiliki pacar, tekanan orangtua untuk menikah agar tak terjebak dosa, dan pola pacaran keliru sampai memicu kehamilan di luar nikah. Komunikasi buruk orangtua dan anak juga membuat anak tak bisa menentukan keinginan terkait perkawinan.

Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty, mereka yang menikah sebelum 18 tahun umumnya dari kelompok ekonomi kurang mampu, berpendidikan rendah, dan 85 persen di antaranya putus sekolah.

Konsekuensinya, banyak anak perempuan tak punya bekal memadai menempuh kehidupan selanjutnya. Meski perkawinan anak umumnya diharapkan bisa membantu ekonomi keluarga, nyatanya banyak yang terjebak lingkaran kemiskinan.

Anak perempuan yang nikah juga rentan mengalami kecemasan, depresi, dan berpikir bunuh diri. Pernikahan dini membuat mereka kehilangan dukungan dan kendali atas hidup mereka. Mereka juga rentan mengalami kekerasan fisik, seksual, dan emosional. Hubungan seks saat usia remaja, ketika organ reproduksi belum siap, meningkatkan risiko penyakit kanker serviks.

Sementara bayi yang lahir dari ibu usia anak berisiko dua kali lebih tinggi meninggal sebelum umur satu tahun, lahir prematur, lahir dengan berat badan rendah, dan kekurangan gizi. “Karena itu, perlu pendewasaan usia perkawinan,” kata Surya. (MZW)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2017, di halaman 16 dengan judul “Produktivitas Bangsa Terancam”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB