Remaja menjadi target pasar industri rokok tertinggi di Indonesia. Regulasi pengendalian tembakau yang lemah dikhawatirkan berpengaruh pada kesehatan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia menjelang bonus demografi mendatang.
Pengaruh keberlangsungan industri rokok pada kesehatan dan kualitas sumber daya individu masyarakat Indonesia dibahas dalam seminar publik tentang “Rokok Ancam Generasi Emas 2045”, Rabu (2/3/2016) di Jakarta.
Bonus demografi karena tinggi jumlah manusia usia produktif diperkirakan akan terjadi pada rentang 2025-2035. Itu menjadi peluang peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan ketersediaan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, rokok berdampak pada kehamilan dan kesehatan anak. Saat ini, 20 persen pemuda di Indonesia menggunakan tembakau dan mengonsumsi rokok pada usia yang lebih muda.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan, prevalensi perokok usia 15-19 tahun sebesar 57,3 persen pada laki-laki dan 29,2 persen pada perempuan. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dari berbagai kelompok usia.
Guru besar ekonomi dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan, anak dan remaja menjadi target pasar industri rokok saat ini. Remaja mudah terpengaruh zat adiktif dengan membiasakan mereka terhadap nikotin. Hal tersebut dapat menjadi awal konsumsi narkoba.
“Ada 90 persen pencandu narkoba adalah perokok usia dini. Ini tidak boleh dibiarkan. Pada saat bonus demografi harus dibarengi produktivitas yang baik dengan kualitas berpikir yang baik,” kata Emil yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo mengatakan, efek adiktif yang membuat orang kembali mengonsumsi rokok.
“Industri menyatakan, remaja adalah target pembeli rokok di masa depan. Jadi, jelas target mereka adalah remaja. Ini yang bahaya ketika kesehatan dikorbankan,” kata Widyastuti.
Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia Ilham Oetama Marsis mengatakan, bahaya rokok tidak hanya ditanggung oleh generasi saat ini, tetapi juga memengaruhi satu generasi yang akan datang. Zat kimia dalam asap rokok akan terus mengikuti rantai kehidupan perokok hingga turun ke anaknya.
“Dimungkinkan ada gangguan neurologis. Muaranya, daya inteligensia orang menjadi rendah. Padahal, generasi ini yang akan memimpin bangsa kita ke depan,” kata Oetama.
Meningkatnya jumlah perempuan perokok akan memengaruhi kelahiran bayi dengan berat badan rendah. Meski perempuan tidak merokok, jika terpapar asap rokok, akan menjadi perokok pasif. Kesehatan perempuan itu terganggu, termasuk kualitas rahim menurun. Akhirnya, generasi yang diharapkan pada masa bonus demografi tidak memiliki produktivitas tinggi karena kualitas intelegensia kurang.(C07)
Sumber: Kompas Siang | 2 Maret 2016