Terus bertambahnya penduduk, berkurangnya tutupan lahan, dan perubahan iklim membuat potensi terjadinya bencana di masa depan kian besar. Namun proses mitigasi yang bertumpu pada masyarakat masih sangat kurang.
Meski mulai melambat, jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Tahun ini, Indonesia punya penduduk 264 juta jiwa dan diprediksi jadi 319 juta pada seabad Indonesia merdeka. Penduduk yang besar itu menghadapi risiko bencana yang semakin besar ke depan.
“Jumlah penduduk yang besar membuat kebutuhan akan lahan semakin besar,” kata Kepala Kelompok Penelitian Ekologi Manusia, Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK LIPI) Deny Hediyati di Jakarta, Kamis (27/12/2108).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Pedagang berusaha menyelamatkan barang dagangannya dari banjir yang melanda kawasan Pasar Labuhan, Kalanganyar, Kabupaten Pandeglang, Banten, Rabu (26/12/2018). Banjir terjadi karena meluapnya Sungai Cipunten Agung pada saat air laut pasang.
Kebutuhan lahan itu bukan hanya untuk permukiman dan pembangunan fasilitas publik, tetapi juga berbagai kebutuhan ekonomi, mulai dari pertanian-perkebunan, industri, hingga infrastruktur. Kebutuhan lahan itu membuat areal tutupan lahan terus berkurang hingga meningkatkan risiko berbagai bencana.
Kondisi itu, lanjut Deny, berlangsung bersamaan dengan terjadinya perubahan iklim yang memicu anomali cuaca. Akibatnya, berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, angin puting beliung, atau kekeringan berpeluang makin sering terjadi ke depan.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan dominannya bencana hidrometeorologi. Selama 2018 saja, hingga 14 Desember, 97 persen bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi. Wilayah yang paling terdampak adalah Jawa, pulau dengan luasan kurang dari 7 persen luas Indonesia tapi menampung 58 persen penduduk.
Di sisi lain, potensi bencana juga datang dari posisi Indonesia yang ada di pertemuan tiga lempeng dunia, yaitu Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Posisi itu membuat secara alamiah Indonesia rentan menghadapai gempa, erupsi gunung api, dan tsunami. Meski persentase jumlahnya kecil, bencana ini paling banyak menimbulkan korban jiwa.
Kesadaran atas potensi bencana itu mulai disadari pemerintah dalam penyusunan rencana tata ruang. “Namun, rencana itu sering dikalahkan oleh kepentingan ekonomi,” kata peneliti Kelompok Penelitian Ekologi Manusia PPK LIPI Luh Kitty Katherina. Terkadang, rencana tata ruang itu diubah demi mengakomodasi kondisi riil yang menyalahi rencana sebelumnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Pekerja menyelesaikan pemasangan turap beton di Kali Mookervart, Jakarta, Selasa (27/11/2018). Pemasangan turap merupakan bagian normalisasi saluran dan sungai di sejumlah wilayah di Jakarta untuk mengendalikan banjir.
Non struktural
Di sisi lain, upaya pemerintah dalam memitigasi bencana masih terfokus pada mitigasi struktural. Selain pembangunan berbagai infrastruktur untuk mengurangi risiko bencana, pola mitigasi itu juga dilakukan dengan meningkatkan kapasitas aparat negara dalam menangani bencana.
Sebaliknya, upaya membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana atau mitigasi non struktural masih lemah. “Anggaran pemerintah untuk pendidikan kesiapsiagaan bencana atau pelatihan bencana sangat kurang,” kata Deny.
Peningkatan kesiapsiagaan itu harus dilakukan secara rutin dan terus menerus. Namun yang terjadi, pelatihan umumnya hanya dilakukan beberapa saat setelah bencana terjadi dan selanjutnya dilupakan.
Secara terpisah, Psikolog Center for Trauma Recovery Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Kuriake Kharismawan mengingatkan pelatihan kesiapsiagaan bencana yang dilakukan sesekali dan tidak terus menerus, tidak akan bermanfaat banyak. Cara itu tidak akan membuat kesiapsiagaan menghadapi bencana tertanam dalam pola pikir masyarakat.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Edukasi Kesiapsiagaan Gempa Bumi – Sejumlah murid Taman Kanak-kanak Mahatma Gandhi School mengikuti simulasi gempa dengan bilik simulator di Gedung Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kemayoran, Jakarta, Selasa (20/2/2018). Sekolah menjadi lokasi yang rawan menimbulkan korban saat terjadi bencana. Karena itu, edukasi kesiapsiagaan bencana perlu dilakukan sejak dini.
Meski demikian, melatih masyarakat juga bukan perkara mudah. Sejumlah masyarakat di daerah yang mengadakan pelatihan bencana justru meminta uang lelah untuk mengikuti pelatihan. Situasi itu menunjukkan, potensi bencana belum menjadi ancaman bagi sebagian masyarakat.
Meski sulit, tambah Kitty, pemerintah perlu terus membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Terlebih, infrastruktur bencana yang dibangun tetap punya keterbatasan dan perubahan lingkungan yang memicu bencana kian sulit diprediksi.
Deny berharap pemerintah mampu menjaga keseimbangan dan keterikatan antara pembangunan infrasruktur dan kesadaran masyarakat menghadapi bencana. Pada ujungnya, masyarakatlah yang akan jadi korban. Karena itu, mereka harus dimampukan hingga risiko bencana bisa dikurangi saat bencana benar-benar terjadi.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 28 Desember 2018