Kajian terbaru menunjukkan, mayoritas anak muda di perkotaan menyadari pentingnya pangan lokal dan keragaman pangan pokok. Namun, masyarakat di desa meninggalkan pangan lokal dan kian bergantung pada beras.
”Kajian kami terhadap para pemuda di Kota Bogor menunjukkan, 87,2 persen responden menganggap pangan lokal lebih bergizi dan sehat, tetapi yang memilih mengonsumsi pangan lokal hanya 51,1 persen,” kata Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah di Wulanggitang, Flores Timur, Jumat (13/7/2018).
Survei dilakukan terhadap 180 responden berusia 15-25 tahun di enam kecamatan di Kota Bogor. Survei ini menunjukkan persepsi para pemuda di perkotaan tentang pentingnya pangan lokal sudah cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Meski kesadarannya tinggi, ketersediaan pangan lokal terbatas. Akibatnya, responden yang menganggap pangan lokal lebih bergizi, tak semuanya setuju untuk mengonsumsinya,” ujarnya.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Sorgum merupakan tanaman tradisional yang telah lama dikembangkan masyarakat Flores, namun kemudian ditinggalkan sejak pertengahan 1970-an seiring kebijakan pemerintah yang mendorong beras.–Kompas/Ahmad Arif
Meski kesadarannya tinggi, ketersediaan pangan lokal terbatas.
Dalam survei ini terungkap 87 responden (48,3 persen) tak setuju nasi jadi satu- satunya pangan pokok di Indonesia. Ada 55 persen responden setuju keragaman pangan di Indonesia. Responden umumnya setuju Indonesia punya berbagai jenis pangan pokok yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pemenuhan kebutuhan karbohidrat harian.
Meski menyadari pentingnya keragaman pangan, mayoritas responden mengaku bergantung pada nasi. Ada 46,7 persen responden mengonsumsi nasi tiga kali sehari dan 40,6 persen responden mengonsumsi nasi dua kali sehari.
Hasil survei menyebutkan sebanyak 82,2 persen responden di Bogor mendapat informasi pangan sehat. Sementara 76,7 persen responden mendapat informasi pangan sehat dari media sosial.
Namun, ketersediaan akses informasi pangan sehat tak menentukan jenis makanan dikonsumsi. Faktor pendapatan, pendidikan, selera, kebiasaan, harga, dan ketersediaan bahan pangan menentukan konsumsi di masyarakat, khususnya pemuda. Survei menyebut 45,5 persen responden memilih makan di luar rumah karena mudah didapat dan 26,7 persen terkait konsistensi rasa.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Masyarakat Punan Tubu di Desa Respen, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, membuat pati dari bahan singkong, Sabtu (26/5/2018). Dulu bahan utama pati berasal dari tanaman sagu, yang merupakan pangan pokok masyarakat pemburu-peramu ini.
Pedesaan
”Kondisi sebaliknya terjadi di desa. Ketersediaan pangan lokal dan ragam pangan selain beras tinggi, tetapi kesadaran warga mengonsumsinya makin rendah,” kata Said.
Menurunnya konsumsi pangan lokal dan ragam pangan nonberas diakui Kepala Desa Boru Kedang, Flores Timur, Darius Don Boruk. ”Jika tak makan nasi, kami dianggap belum makan. Dulu, kami biasa makan campur jagung atau singkong,” ujarnya.
Beralihnya pola pangan pokok masyarakat di desanya ke nasi terkait persepsi. ”Kalau makan keladi dan singkong, dianggap orang tak mampu. Jika pesta menyajikan singkong atau keladi, akan direndahkan sehingga berlomba menyajikan roti dengan menu utamanya nasi,” katanya.
Menurut Said, beda persepsi pentingnya pangan lokal dan keragaman pangan antara pemuda di kota dan desa karena ada gap informasi. Kaum muda di kota punya akses informasi baik sehingga tumbuh sikap positif pada pangan lokal dan keragaman pangan. Sebaliknya, warga desa yang punya akses lebih besar pada pangan lokal kurang terpapar informasi pentingnya konsumsi pangan lokal dan keragaman pangan.
KOMPAS/ADI SUCIPTO K–Pengembangan kawasan jagung modern di Banyubang, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, terbukti meningkatkan produktivtas jagung dari kisaran 5,5-5,8 ton per hektar menjadi 11,4 ton per hektar. Jagung merupakan salah satu jenis pangan lokal yang menjadi sumber karbohidrat.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 14 Juli 2018