Perlu Ada Keterlibatan Warga Lokal

- Editor

Rabu, 25 Juli 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan cagar biosfer menjadi faktor terpenting agar sebuah kawasan tetap terjaga. Konsep ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar dan berdampak pada pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini mengemuka dalam Sidang International Co-ordinating Council of the Man and the Biosphere (ICC-MAB) UNESCO ke 30 di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (24/7/2018) Hadir dalam rapat tersebut, 300 peserta dari 45 negara yang merupakan anggota dari World Network of Biosphere Reserve (WNBR) dari Asia, Australia, Afrika, dan Amerika.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengatakan pengusulan sebuah kawasan menjadi cagar biosfer dilakukan agar kelestarian kawasan tersebut terjadi. Selain itu juga memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat lokalnya. Dengan penetapan itu semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, warga lokal, komunitas, dan pemangku kepentingan diharapkan dapat berkolaborasi membuat program yang bisa bermanfaat bagi semua pihak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saat ini ada 11 cagar biosfer di Indonesia dengan luas kawasan mencapai 17 juta hektar. Adapun luas zona inti mencapai 3 juta hektar. Dari sejumlah cagar biosfer yang sudah dikelola, lanjut Wiratno, beberapa diantaranya memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

PRESENTASI YOHANES PURWANTO–Presentasi keberadaan cagar biosfer di Indonesia oleh Yohanes Purwanto, Direktur Eksekutif MAB

Sebagai contoh, lanjut Wiratno, pengelolaah kawasan wisata alam di Tangkahan di Langkat, Sumatera Utara telah menghasilkan perputaran uang di dua desa hingga Rp 10 miliar per tahun. Selain itu pengelolaan Desa Wisata Kalibiru, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta menghasilkan perputaran uang hingga Rp 6 miliar per tahun, hanya dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat berfoto. Menurut Wiratno, cara ini akan berdampak pada meningkatknya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan sekitarnya.

Dalam pertemuan ini, lanjut Wiratno, Indonesia juga mengusulkan tiga kawasan menjadi cagar biosfer baru yakni Berbak Sembilang, Sumatera Selatan- Jambi, Betung Kerihun Danau Sentarum, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dan Rinjani- Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penetapan ini didasarkan potensi yang dimiliki oleh ketiga tempat tersebut.

Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto menuturkan LIPI memiliki tugas untuk meneliti teknologi yang dapat diterapkan oleh masyarakat lokal dalam kawasan cagar biosfer. “Teknologi yang diberikan harus berkaitan dengan aspek manusianya,”ucap Bambang.

Karena itu, penelitian akan melihat aspek kearifan lokal, kebiasaan, dan keinginan masyarakat. Selain itu, potensi alam juga harus diperhatikan karena kekayaan alam yang ada didalamnya dapat digunakan untuk bahan baku ekonomi yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Namun demikian, rantai pasok bahan baku perlu diperhatikan agar jangan sampai kegiatan ekonomi justru merusak lingkungan sekitarnya.

Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengatakan belajar dari kebakaran lahan tahun 2015, Pemerintah Sumsel mulai mengedepankan konsep pembangunan hijau dalam menjalankan perekonomiannya. Langkah ini bertujuan agar pengembangan ekonomi tetap mengedepankan pembangunan berkelanjutan. Sampai saat ini, Sumsel memiliki 11 bantuan program pengelolaan lanskap lingkunagan di sejumlah kawasan bekas kebakaran lahan dari 15 negara.

Ketua Komite Nasional MAB UNESCO Enny Sudarmonowati mengatakan saat ini ada 669 cagar biosfer di dunia yang tersebar di 120 negara. Pertemuan ini diharapkan dapat menemukan cara yang paling efektif dan efisien untuk mengembangkan cagar biosfer yang sudah ada. Momen ini juga menjadi ajang promosi terkait keunggulan Indonesia dalam pengembangan cagar biosfer yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan.-RHAMA PURNA JATI

Sumber: Kompas, 25 Juli 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB