Menjaga keseimbangan ekosistem memerlukan peran perempuan. Perjuangan perempuan mendorong kesetaraan hak dalam akses terhadap sumber daya alam.
Di daerah, perempuan turut menjaga sumber daya alam dengan cara masing-masing. “Kami melihat perjuangan perempuan disembunyikan struktur sosial dan politik yang tak menginginkan mereka tampil,” kata Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono, di sela-sela diskusi publik “Mendorong Kepemimpinan Perempuan Mengurus Krisis Sosial-Ekologi di Nusantara”, di Aula Kampus Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (23/6).
Hadir berbicara Eva Bande (pejuang agraria Sulawesi Tengah), Aleta Baun (tokoh adat NTT), Nissa Wargadipura (pimpinan pesantren ekologi Garut), Oppung Putra (perempuan petani Sumatera Utara), dan Gunarti (komunitas Sedulur Sikep). Mereka berbagi pengalaman mempertahankan hak sumber daya alam di daerah mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Eko mengatakan, krisis ekologi mendampak keseimbangan alam jika perempuan tak diberi peran. Penelitian Sajogyo Institute dengan Komnas HAM dalam inkuiri nasional, 40 kasus di kawasan hutan kian meminggirkan masyarakat adat, terutama perempuan.
Hal itu, lanjut Eko, karena legitimasi aparat pada rezim kehutanan, perkebunan, dan pertambangan lewat izin produksi. “Perlu ada moratorium izin. Koreksi kebijakan yang mengabaikan kelangsungan ekologi,” ujar Eko.
Contohnya, kasus penguasaan lahan untuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) terhadap masyarakat adat Malind Anim. Dampaknya, gagasan produktivitas meniadakan peran perempuan dalam keseharian masyarakat adat, praktik peralihan tanah di skema MIFEE menutup mata hak perempuan atas tanah dan konsekuensi investasi skala besar memperburuk kondisi perempuan. Saat tanah sudah beralih dan diolah investor, kerja perempuan tak diserap dalam aktivitas perusahaan.
Nissa Wargadipura mengatakan, peran perempuan dalam keseimbangan ekosistem dimulai dari kesadaran keluarga memanfaatkan sumber daya sekitar. Menjaga keseimbangan ekosistem dengan belajar dari alam. Caranya, membiasakan bercocok tanam tanpa merusak tanah.
Meski prinsip pembangunan melalui pertanian dan perkebunan mengabaikan keadilan, petani perempuan harus siap melawan komodifikasi alam demi produksi skala besar. Kebijakan komodifikasi alam perlu ditekan.
Koordinator Tim Teknis Pengendalian Perubahan Iklim Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yetti Rusli mengatakan, perempuan perlu diberi tempat. Mereka perlu terlibat sebagai subyek dalam mengelola lingkungan. (B02)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juni 2015, di halaman 13 dengan judul “Perempuan Menentukan Keseimbangan Ekosistem”.