Kodrat perempuan sering dipahami secara keliru dengan mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran untuk meninjau kembali tafsir keagamaan ataupun kebudayaan secara keseluruhan mengenai posisi dan kontribusi perempuan di masyarakat.
“Kodrat tidak ada keterkaitan dengan waktu. Pengavlingan ranah publik dan domestik untuk laki-laki dan perempuan itu datang dari nilai budaya. Ini harus dilihat lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan pentingnya partisipasi perempuan di dalam pembangunan,” kata Nasarudin Umar, mantan Wakil Menteri Agama (periode 2009-2014) yang juga Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dalam acara tatap muka pelaku sejarah, tokoh perempuan, dan pimpinan organisasi perempuan yang bertajuk “Inspirasi Pejuang dan Pemimpin Perempuan dalam Menggapai Cita-cita Menuju Kesetaraan Jender”, Senin (14/12) di Jakarta.
Turut hadir selaku narasumber Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah sekaligus Ketua Presidium Nasional Kaukus Perempuan Parlemen Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Adapun Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa hadir menyampaikan pidato kunci.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Nasarudin, agama hendaknya tidak digunakan untuk memojokkan perempuan, tetapi justru sebagai alat perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan jender sehingga seluruh anggota masyarakat Indonesia bisa optimal berkembang. Artinya, perlu diadakan pemutakhiran tafsir ayat-ayat suci agar bisa relevan dengan keadaan sosial masyarakat Indonesia.
Salah satu isu yang disoroti Nasarudin adalah pernikahan dini. Pernikahan dini umumnya dilakukan karena keterbatasan ekonomi ataupun dengan alasan menghindari hubungan seksual di luar nikah. Akan tetapi, pernikahan dini merupakan pintu masuk dari feminisme kemiskinan.
Data Kementerian Agama tahun 2014 menyebutkan setiap tahun ada dua juta pasangan yang menikah. Sementara angka perceraian menunjukkan 215.000 pasangan berpisah setiap tahun. Mayoritas perceraian terjadi di rumah tangga yang menikah dini sehingga ketika berpisah, perempuan dan anak berada di garis kemiskinan akibat tidak memiliki nafkah.
“Mereka umumnya berpisah karena cerai gugat akibat istri tidak tahan menghadapi kekerasan di dalam rumah tangga. Tetapi, cerai gugat memiliki kelemahan, yaitu laki-laki tidak diwajibkan membayar tunjangan kepada mantan istri,” tutur Nasarudin. Oleh karena itu, jalan keluar harus dilakukan di pangkal permasalahan, yakni tidak melakukan pernikahan dini.
Khofifah mengusulkan agar proses perkawinan hendaknya dicatat oleh negara. Dari pengalaman dia mengunjungi sejumlah daerah terungkap bahwa pernikahan siri atau yang tidak terdaftar secara hukum ialah karena keluarga tidak mampu membayar Kantor Urusan Agama untuk administrasi pernikahan ataupun membeli mas kawin.
“Kalau bisa, ada jalan keluar yang memungkinkan pernikahan bisa tercatat meskipun gratis. Jadi, anaknya tetap punya akta kelahiran dan tidak kehilangan akses untuk layanan negara,” ujarnya.
Hemas mengutarakan kekecewaannya dengan belum disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Jender oleh Dewan Perwakilan Rakyat. “Ini bukan masalah jenis kelamin, melainkan keadilan yang merupakan hak asasi rakyat Indonesia,” katanya.
RUU tersebut sudah diperjuangkan sejak 2009, tetapi belum bisa masuk ke dalam Program Legislasi Nasional. Oleh karena itu, Hemas mengimbau semua penduduk Indonesia agar memahami bahwa perjuangan kaum perempuan merupakan perjuangan bangsa.
LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas Siang | 14 Desember 2015