Pencegahan perkawinan anak di Tanah Air harus dilakukan semua pihak dengan berbagai cara. Tak hanya mengubah batas usia perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, upaya menyadarkan masyarakat terkait bahaya dari perkawinan anak juga penting.
Untuk itu, sosialisasi harus dilakukan secara masif kepada masyarakat dengan memberikan informasi tentang dampak dari perkawinan anak, mulai dari kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan dampak lainnya.
“Sosialisasikan terus kepada masyarakat apa dampaknya dari perkawinan anak. Anak punya anak, kayak apa? Orang dewasa saja susah kalau punya anak, apalagi anak punya anak,” ujar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Nasaruddin Umar dalam diskusi media tentang Perkawinan Anak, di Jakarta, Senin (6/8/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR–Diskusi Media tentang Perkawinan Anak, di Jakarta, Senin (6/8/2018). Tampak pembicara Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nasaruddin Umar (tengah) sedang membawakan materi, bersama Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny N Rosalin dan Novita Tandry (psikolog).
Nasaruddin mengungkapkan sejumlah cara bisa ditempuh untuk mencegah perkawinan anak, misalnya Kementerian Agama mengeluarkan surat edaran setingkat direktur jenderal yang isinya tentang persyaratan tambahan bagi orang yang akan menikah. Cara lain adalah publikasi media yang harus seimbang, yakni menyampaikan berita-berita perkawinan anak terutama alasan dan pertimbangan dampak dari perkawinan anak baik secara fisik, psikis, dan sosiologis.
Pada saat kampanye pencegahan perkawinan anak, organisasi masyarakat sipil harus menggunakan bahasa yang sama dengan tokoh-tokoh agama agar bisa lebih muda diterima oleh masyarakat.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR–Menteri PPPA Yohana Yembise saat hadir pada Diskusi Media tentang Perkawinan Anak, di Jakarta, Senin (6/8/2018)
Upaya pemerintah
Menteri PPPA Yohana Yembise yang menjadi pembicara kunci pada diskusi tersebut, menegaskan isu perkawinan anak mendapat perhatian pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Berbagai upaya dilakukan KPPPA untuk mencegah perkawinan anak, mulai dari penyusunan kebijakan nasional tentang pencegahan perkawinan anak, penyusunan rencana menaikkan batas usia perkawinan dan menghapus dispensasi perkawinan, hingga kampanye “Stop Perkawinan Anak”.
Kendati demikian, fenomena perkawinan anak di Tanah Air hingga kini terus berlangsung. Selain karena rendahnya pendidikan, tingginya angka kemiskinan, norma sosial budaya yang berlaku, dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga, juga menyebabkan perkawinan anak terus terjadi.
Perkawinan usia anak juga identik dengan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dengan alasan ekonomi. Bahkan, anak-anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam perkawinan usia anak.
“Kondisi perkawinan usia anak di Indonesia semakin memprihatinkan, bahkan menuju darurat. Tanggung jawab kita semua untuk memutus mata rantai perkawinan usia anak termasuk keluarga, masyarakat, pemerintah, dan rekan-rekan media khususnya sebagai wadah penyebaran informasi secara massal,” ungkap Yohana.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR–Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meluncurkan gerakan “Stop Perkawinan Anak”, Jumat (3/11) di kantor Kementerian PPPA Jakarta. Menteri PPPA Yohana Susana Yembise menyatakan Indonesia merupakan negara tertinggi kedua angka perkawinan anak di ASEAN setelah Kamboja, dan tertinggi ke-7 di dunia. Karena itu Yohana bersama organisasi non pemerintah menyerukan kepada semua pihak agar mencegah dan mengakhiri praktik-praktik perkawinan anak yang akan merusak masa depan generasi penerus bangsa.–Kompas/Sonya Hellen Sinombor (SON)–03-11-2017
Selain itu, peraturan perundang-undangan ikut menjadi hambatan dalam pencegahan perkawinan anak. Sebab, batas usia perkawinan perempuan dalam UU Perkawinan adalah 16 tahun bertolak belakang dengan UU 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang menetapkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 ) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
“Banyak yang bertanya kepada saya dua undang-undang tersebut. Sampai sekarang masih menjadi sorotan. Karena itu ada diskusi publik seperti hari ini. Kita akan mencoba melihat satu persatu undang-undang tersebut,” kata Yohana. Karena itulah, KPPPA mendorong agar revisi UU Perkawinan segera terealisasi agar tidak ada lagi kasus perkawinan usia anak.
Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rosalin menyatakan berbagai kegiatan sudah dilakukan pemerintah. Saat ini KPPPA menginisiasi Forum Pencegahan Perkawinan Anak yang ditujukan kepada tokoh agama dan guru, inisiasi perwujudan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), mendorong wajib belajar selama 12 tahun dalam kebijakan, Pembentukan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). Upaya lain adalah, meningkatkan akses dan mutu pendidikan anak, melibatkan anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P), serta bermitra menjalin dengan lembaga sosial dan dunia usaha.–SONYA HELLEN SINOMBOR
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2018