Penyakit akan terus beradaptasi, berkembang, dan berevolusi merespons dinamika alam dan aktivitas manusia. Globalisasi yang memungkinkan pergerakan orang dan barang lintas negara dengan cepat akan memungkinkan penyebaran penyakit kian luas. Maka, kondisi kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia pun terancam, termasuk Indonesia.
Pada abad ke-21 ini, kita menyaksikan munculnya penyakit menular yang baru (new emerging), penyakit lama yang sempat menurun kejadiannya, tetapi muncul kembali (reemerging), atau bahkan lahir penyakit yang resisten atau kebal terhadap obat.
Penyakit itu antara lain human immunodeficiency virus (HIV), sindrom pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS) tahun 2003 di Tiongkok, flu burung (H5N1) dan H7N9, serta flu babi (H1N1). Tahun ini, kita dikejutkan dengan merebaknya kasus sindrom pernapasan Timur Tengah yang disebabkan virus korona (MERS-CoV) dan kembali munculnya wabah ebola di Afrika. Sekitar 75 persen dari beragam penyakit itu bersumber dari binatang (zoonosis).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beraneka ragam spesies hewan peliharaan ataupun hewan liar dapat menjadi reservoir patogen, bisa berupa virus, bakteri, ataupun parasit. Mayoritas penyakit menular itu muncul di wilayah Asia dan Afrika.
Kepala Pusat Penelitian Zoonosis-Flu Burung Universitas Airlangga, Surabaya, yang juga anggota Komisi Nasional Penyakit New Emerging dan Reemerging Kementerian Kesehatan, Chairul A Nidom, memaparkan, secara alamiah, makhluk hidup, termasuk mikroorganisme, akan terus berupaya mempertahankan hidupnya. Dalam konteks itu, tak ada satu pun makhluk hidup ingin mencelakakan pihak lain.
Akan tetapi, kenyataannya, tak semua makhluk hidup mampu mereplikasi dirinya secara mandiri. Ada sejumlah makhluk hidup yang memerlukan pihak lain sebagai tempat (host) untuk bisa mengembangkan diri.
Demikian juga patogen yang ada pada binatang. Ia bisa melompat dan berpindah ke manusia. Tubuh yang belum mengenali patogen itu tak bisa mempertahankan kekebalan tubuh. Akibatnya, banyak orang sakit, bahkan meninggal dunia.
Ia mencontohkan flu burung yang berasal dari unggas yang sakit akibat virus influenza A subtipe H5N1. Tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat secara global, penyakit itu juga berdampak secara ekonomi pada sejumlah negara. Sektor peternakan unggas terpukul akibat adanya kasus flu burung.
Antarmanusia
Penyakit pada manusia yang bersumber binatang bisa juga bertransmisi antarmanusia. Sumber penyakit bisa bermutasi dan menghasilkan varian baru penyakit. Ebola yang kini mewabah di Afrika menjadi contoh penyakit yang muncul kembali setelah lama hilang.
Ebola pertama muncul tahun 1976 di Nzara, Sudan, dan Yambuku, Kongo. Yambuku berlokasi di dekat Sungai Ebola. Itulah sebabnya, penyakit ini dinamai ebola. Sejak kemunculannya hingga kini, angka kejadian ebola di Afrika berfluktuasi, kadang ratusan kasus, kadang hanya satu kejadian dalam setahun.
Dari lima jenis virus ebola, yakni Bundibugyo ebolavirus (BDBV), Zaire ebolavirus (EBOV), Reston ebolavirus (RESTV), Sudan ebolavirus (SUDV), Tai Forest ebolavirus (TAFV), tiga di antaranya menyebabkan wabah dan merenggut ratusan nyawa di Afrika, yaitu BDBV, EBOV, dan SUDV.
Adapun RESTV pernah menimbulkan wabah pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Filipina pada 1980-an dan 1990-an. Sejak 2008, RESTV juga ditemukan pada babi di Tiongkok. Sejauh ini baru dua negara Asia yang melaporkan ebola jenis RESTV. Virus ebola di Filipina dan Tiongkok tak menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia.
Sementara itu, contoh penyakit menular baru adalah MERS-CoV yang dilaporkan pertama kali pada September 2012. MERS-CoV adalah anggota baru dari kelompok Betacoronavirus. Virus itu berbeda dengan virus korona yang menyebabkan penyakit SARS dan flu yang umum.
Kemunculan penyakit yang resisten terhadap obat pun patut diwaspadai. Dalam jurnal New England Journal of Medicine akhir Juli 2014, para peneliti menemukan Plasmodium falciparum yang resisten artemisinin di wilayah barat Kamboja, Thailand, Vietnam, dan timur Myanmar. Diduga malaria resisten juga menyebar ke utara Kamboja, wilayah tengah Myanmar, dan selatan Laos.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan, malaria yang kebal terhadap obat artemisinin-based combination therapy (ACT) bisa terjadi akibat salah dosis, kepatuhan minum obat yang buruk, ACT palsu, atau pengobatan tak memakai ACT, melainkan hanya satu jenis obat. Meski demikian, sejauh ini belum ada laporan malaria resisten di Indonesia.
Perubahan lingkungan
Guru Besar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Nasrin Kodim menyebutkan, desakan manusia terhadap hutan dan perdagangan satwa liar yang marak menjadi contoh penyebab terjadi lompatan patogen dari satwa ke manusia. Interaksi manusia dengan satwa liar kian terbuka.
Alat transportasi canggih memungkinkan manusia berpindah dari satu negara ke negara lain dengan cepat, bahkan lebih cepat dari masa inkubasi penyakit. Akibatnya, penyebaran penyakit lintas negara kini bisa berlangsung singkat.
”Indonesia yang ada di daerah tropis berisiko tinggi terhadap ancaman penyakit. Iklimnya amat cocok untuk berkembangbiaknya penyakit,” kata Nasrin. Sanitasi yang buruk dan peternakan intensif memicu kemunculan penyakit zoonosis.
Menurut Nidom, pengobatan canggih memungkinkan sumber penyakit bermutasi dalam tubuh. Penyakit itu akan beradaptasi terhadap obat sehingga memunculkan varian penyakit baru. Karena itu, penyakit-penyakit menular, terutama bersumber binatang, masih akan menjadi ancaman serius kesehatan masyarakat global.
Kemampuan riset
Terkait hal itu, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio mengatakan, Indonesia memiliki banyak sumber daya peneliti yang kompeten. Contohnya, Eijkman mempunyai para peneliti yang amat kompeten dalam riset dasar. Selama ini, mereka terlibat dalam riset vaksin dan penyakit menular, seperti flu burung.
Bahkan, lembaga riset itu telah memiliki peta genom malaria di Indonesia. Hal itu akan bermanfaat bagi deteksi dan pengambilan kebijakan pengendalian penyakit menular yang baru ataupun kembali muncul.
Di tengah ancaman penyakit menular yang bisa mewabah, hal terpenting adalah kemampuan mendeteksi, mencegah merebaknya penyakit, dan melihat tren epidemiologi penyakit.
Oleh: Adhitya ramadhan
Sumber: Kompas, 14 Agustus 2014