Penguatan Ekosistem Tekan Risiko Bencana

- Editor

Selasa, 15 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kota-kota di Indonesia rentan terdampak bencana perubahan iklim, seperti banjir, kekeringan, erosi pantai, dan penurunan permukaan tanah. Diperlukan perencanaan pembangunan yang lebih baik untuk menghadapi berbagai ancaman itu.

“Pemanfaatan dan penguatan ekosistem serta pendekatan alamiah perlu dilakukan. Pendekatan alamiah yang dimaksud melibatkan ekosistem sekitar,” kata Ketua Indonesia International Institute for Urban Resilience and Infrastructure Jan Sopaheluwakan pada Third International TWIN-SEA Workshop bertema “Low-Regret Adaptation for Social Transformation and Policy Changes on Climate and Disaster Risks in Coastal Areas in Indonesia and South East Asia”, Senin (14/3), di Jakarta.

Kemarin, sejumlah peneliti menawarkan konsep kota berketahanan, di mana ekosistem menjadi salah satu aspek yang menjadi perhatian. Konsep kota berketahanan menjadi salah satu langkah menekan risiko bencana pada masa depan. Kota diharapkan mengeliminasi segala ancaman dan membangun diri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Cara yang ditawarkan adalah penataan kembali ruang kota,” kata Jan.

Peneliti Mangrove Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), John Haba, mengatakan, konsep kota berketahanan dapat dimulai, misalnya, dengan penanaman mangrove di pesisir. Mangrove dapat menjaga lingkungan dari dampak perubahan iklim.

Penataan ruang kota, khususnya Jakarta, dapat dimulai dari daerah pesisir. Penguatan daerah pesisir dapat menghalau banjir dan abrasi. Mangrove memiliki berbagai fungsi, antara lain, megah intrusi air laut, mencegah erosi dan abrasi pantai, serta tempat hidup dan sumber makanan beberapa jenis satwa.

Meski demikian, John menuturkan, penanaman mangrove perlu melibatkan peran pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lain. Selain mencegah potensi bencana alam yang mungkin muncul, beberapa aspek juga turut terdampak, seperti sebagai tempat pariwisata.

“Di Jakarta, penanaman mangrove dilakukan di daerah utara, tetapi kini semakin terdegradasi karena tanpa kontrol langsung pemerintah,” katanya.

Kondisi Jakarta
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Perencanaan Tata Ruang dan Lingkungan Oswae M Mungkasa mengatakan, adopsi program mitigasi bencana di Jakarta membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Saat ini, program jangka pendek pemerintah masih terfokus pada kebijakan penanganan bencana, bukan mengatasi masalah perubahan iklim.

“Peran peneliti dibutuhkan untuk membantu pemerintah mengusung implementasi program berbasis pendekatan alamiah,” katanya.

Saat ini, kata Oswae, mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah masih dalam lingkup penegakan hukum, perencanaan dan manajemen daerah aliran sungai, pembersihan saluran air, serta cara penanggulangan bencana. Karena itu, dalam perencanaan, pemerintah akan menggandeng berbagai pihak, seperti organisasi non-pemerintah, peneliti, sektor swasta, dan profesional, guna membuat kebijakan yang berkelanjutan.

Sementara itu, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, konsep kota berketahanan dapat terwujud jika para pihak bekerja sama. Misalnya, pemerintah tidak hanya fokus pada masalah ekonomi, tetapi juga sosial dan ekologi. “Banyak pihak tertarik dan mendalami bidang masing-masing, tetapi tidak bekerja sama. Akibatnya, dampak perubahan iklim tak teratasi,” katanya. (C05)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Penguatan Ekosistem Tekan Risiko Bencana”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB