Peneliti LIPI: Normalisasi Sungai Merusak Ekosistem, Tapi…

- Editor

Rabu, 8 Januari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Peneliti Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Gadis Sri Haryani menjelaskan bahwa konsep normalisasi tak harus diterapkan di semua wilayah sungai di Jakarta untuk mencegah banjir. Konsep normalisasi bahkan disebut telah lama ditinggalkan oleh negara-negara Eropa.

“Teknologi normalisasi pernah dipakai di Eropa dan telah disadari keliru dan telah ditinggalkan. Tapi kalau di Indonesia bisa disesuaikan. Konsep normalisasi ini tentu tetap bisa digunakan dengan melihat beberapa kondisi,” kata Dr Gadis Sri Haryani kepada detikcom, Selasa (7/1/2020).

Gadis menjelaskan, sebelum melakukan normalisasi sungai, harus terlebih dahulu melihat hulu dan hilir sungai. Jika dirasa pinggiran sungai menjadi rentan karena kondisi daerah sungai yang penuh bangunan, maka normalisasi itu bisa digunakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Artinya gini, kan tergantung sungai itu berada. Kalau misalnya sungai Ciliwung itu hulunya dari Kabupaten Bogor, ke hilirnya misalnya di Jakarta, dengan kondisi Jakarta yang penuh bangunan di sekitar sungainya itu, memang ada daerah pinggiran sungai yang rawan longsor. Nah itu memang oke dinormalisasi, dibeton atau diturap,” tutur Gadis.

Kendati demikian, ada pula sungai yang tak perlu dinormalisasi. Dia mencontohkan sungai yang berada di kawasan Condet, yang dihidupkan ekosistem alaminya oleh masyarakat.

“Tapi ada daerah yang tidak perlu dibeton seperti di Condet yang dihidupkan ekosistemnya oleh masyarakat Ciliwung. Dari lahannya itu tidak perlu dibeton atau normalisasi, karena di lahannya itu ditanami tumbuh-tumbuhan yang bisa menahan erosi,” kata pakar Limnologi ini.

Sebagai peneliti, Gadis mengatakan bahwa normalisasi itu memang konsep yang merusak ekosistem sungai. Namun, hal ini kembali pada kondisi hulu dan hilir sungai.

“Normalisasi kan diluruskan, dikeraskan dindingnya. Kan kalau secara ilmiah kan merusak ekosistem. Karena daerah pinggiran sungai ini dengan kemampuan ilmiahnya punya kemampuan untuk menahan erosi,” jelasnya.

“Harus melihat hulu dan hilir. Kalau kami kan peneliti, jadi kami melihatnya ekosistem. Semuanya harus back to nature, kembali ke alam,” imbuhnya.

Rakhmad Hidayatulloh Permana

Sumber: detikNews, Selasa, 07 Jan 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB