Pengendalian Tembakau Mengatur Rokok, Mencegah Kemiskinan

- Editor

Selasa, 17 April 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pada saat hampir semua negara meneguhkan komitmen untuk mengendalikan dampak buruk tembakau, Indonesia justru masih ragu. Tarik ulur kepentingan ekonomi atas nama petani tembakau dan buruh pabrik rokok mengorbankan hak hidup sehat rakyat.

Sekretaris Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Margaret Chan dalam berbagai kesempatan selama Konferensi Dunia untuk Tembakau atau Kesehatan (WCTOH) di Singapura, 20-24 Maret, mengingatkan keagresifan industri tembakau untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan sumber daya yang dimiliki, industri tembakau mampu memengaruhi penentu kebijakan pengendalian tembakau di berbagai negara.

Marry Asunta dari Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SATCA) mengatakan, kasus hilangnya Ayat 2 Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan bukti kuatnya intervensi industri rokok dalam memengaruhi kebijakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hilangnya ayat yang menyebut produk tembakau sebagai zat adiktif secara gamblang mempertontonkan perselingkuhan industri tembakau dengan politisi dan birokrasi. Setelah ayat tembakau dikembalikan, berbagai upaya menggalang dukungan publik melalui akademisi dan organisasi keagamaan dilakukan, termasuk mendorong pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam memperjuangkan kepentingan, industri tembakau menggunakan petani tembakau, buruh pabrik, dan industri rokok rumahan sebagai tameng. Kelompok ini selalu ditonjolkan sebagai korban berbagai kebijakan pengendalian tembakau.

Padahal, saat aturan pengendalian tembakau di Indonesia masih parsial, dan penegakannya masih lemah seperti sekarang, petani tembakau dan buruh pabrik sudah lebih dulu tersisih.

Petani tembakau, buruh, dan industri rokok rumahan tersisih karena tak mampu bersaing dengan hegemoni industri rokok besar dan multinasional. Jeratan tengkulak dan sistem ijon pada petani tembakau membuat mereka sulit lepas dari kemiskinan.

Buku Ekonomi Tembakau di Indonesia yang ditulis Sarah Barber dan rekan tahun 2008 menyebut, jumlah petani dan pekerja di industri rokok terus menurun. Jumlah petani tembakau, petani cengkeh, dan pekerja industri manufaktur rokok 1 juta-1,2 juta orang. Porsi terbesar adalah petani tembakau, yaitu 503.000 orang.

Konversi tanaman

Penelitian Triasih Djutaharta dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FE UI) dan rekan tahun 2010 dalam artikel ”The Impact of Excise Increase on Income of Tobacco Farmers” (Dampak Kenaikan Cukai Rokok terhadap Pendapatan Petani Tembakau) menyebut, 36,1 persen rumah tangga petani tembakau memiliki pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan.

Hanya 39 persen petani tembakau menanam tembakau saja. Sisanya juga menanam tanaman lain yang lebih menguntungkan, seperti padi, jagung, ataupun tanaman hortikultura lain. Artinya, konversi petani tembakau menjadi petani tanaman lain relatif mudah dilakukan jika pemerintah serius hendak mengendalikan tembakau.

Luas areal yang ditanami tembakau berfluktuasi. Demikian pula tingkat produksinya. Rendahnya produksi tembakau dipicu rentannya tanaman tembakau terhadap perubahan cuaca dan serangan hama.

Pada saat sama, impor tembakau dari China, India, dan sejumlah negara lain terus meningkat. Tahun 2007, produksi tembakau 164.851 ton, sebanyak 46.834 ton diekspor. Pada saat sama diimpor 69.742 ton tembakau.

”Pendapatan yang rendah membuat petani sensitif jika ada kebijakan yang akan mengubah pendapatan mereka. Ini membuat mereka mudah dimanfaatkan pengambil kebijakan dan industri tembakau,” kata peneliti Pusat Kajian Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI Hasbullah Thabrany.

Nasib petani dan buruh pabrik itu berkebalikan dengan para pemilik pabrik rokok. Pemilik pabrik rokok besar selalu masuk dalam daftar orang-orang terkaya di Indonesia.

Miskin dan penyakitan

Pengalaman sejumlah negara menunjukkan, penandatanganan dan ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) tidak membuat petani dan industri rokok tutup. Industri tembakau di China, Jepang, dan India tetap bertahan meski ada aturan ketat untuk mengendalikan peredaran rokok.

Sifat adiksi pada rokok tak membuat perokok berhenti merokok walau ada aturan ketat. Aturan pengendalian tembakau bukan untuk melarang orang merokok, melainkan mengatur dan membatasi agar dampak buruk rokok tak mengenai mereka yang tidak merokok serta mencegah bertambahnya jumlah perokok remaja dan perempuan.

Peneliti LD-FE UI, Abdillah Ahsan, menunjukkan, pengeluaran untuk rokok keluarga miskin tahun 2009 menempati urutan kedua setelah beras.

Pembelian rokok sering kali lebih diprioritaskan daripada pangan bergizi, seperti daging, telur, buah, serta biaya pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini ironis di tengah besarnya jumlah anak kurang gizi, tingginya angka putus sekolah, dan rendahnya biaya kesehatan.

Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI, Endang L Achadi, mengatakan, dampak kurang gizi pada anak balita adalah pendek, kemampuan kognitif rendah, dan peningkatan risiko penyakit, seperti hipertensi dan diabetes saat dewasa. Rokok juga menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis.

Kementerian Kesehatan menyatakan, konsumsi rokok tahun 2010 menyebabkan pengeluaran tak perlu sebesar Rp 231,27 triliun. Rinciannya, untuk membeli rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis Rp 2,11 triliun, dan hilangnya produktivitas Rp 91,16 triliun.

Pengeluaran ini jauh lebih besar dibandingkan perolehan negara dari cukai dan rokok. Jika tak segera dikendalikan, pemerintah akan kesulitan menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat miskin dalam Jaminan Kesehatan Semesta (universal coverage) yang akan diberlakukan pada tahun 2014.

Oleh : M Zaid Wahyudi

Sumber: Kompas, 17 April 2012

 

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB