Bangunan infrastruktur rentan hancur dan memicu korban jiwa karena mengabaikan risiko bencana di suatu kawasan. Kajian ilmiah para ahli akan potensi bencana harus menjadi acuan dalam membangun infrastruktur.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Bandara Internasional Yogyakarta, Kulon Progo, DI Yogyakarta, saat masih dalam proses pembangunan, Rabu (24/4/2019).
Pemerintah dituntut berhati-hati membelanjakan anggaran untuk pembangunan di wilayah pesisir. Bangunan infrastruktur rentan hancur dan memicu korban jiwa karena mengabaikan risiko bencana di suatu kawasan. Pembangunan infrastruktur publik di zona rawan juga akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Berbagai kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi beberapa tahun terakhir menunjukkan, infrastruktur yang dibangun menjadi sia-sia dalam hitungan menit saja akibat ketidakpedulian dan tidak mendengarkan hasil kajian ilmiah yang sudah ada,” kata Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATSI) Gegar Sapta Prasetya, di Jakarta, Kamis (21/11).
Menurut Gegar, pembangunan infrastruktur vital dan bangunan publik seharusnya memperhitungkan risiko bencana sejak dari perencanaan dan pemilihan lokasi. Jika bisa menjauh dari pantai, akan lebih baik. Hal ini karena tidak semua risiko bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi bisa diatasi dengan rekayasa teknologi.
Untuk bangunan tertentu seperti pelabuhan memang tidak bisa dijauhkan dari pesisir. Namun demikian, bandar udara seharusnya bisa ditempatkan di kawasan yang lebih aman dari jangkauan tsunami.
Dalam kasus Bandara Internasional Yogyakarta, menurut Gegar, sejak sebelum pembangunan para ahli sudah memperingatkan adanya risiko gempa bumi dan tsunami di lokasi yang dipilih. Disarankan pembangunannya saat itu berjarak dari pantai karena dari sejumlah kajian risiko landaan tsunami di kawasan ini bisa mencapai ketinggian 10-15 meter.
“Namun, bandara itu tetap dibangun persis di pinggir pantai sehingga risikonya sangat tinggi, selain mengancam jiwa juga kerugian ekonomi,” kata Gegar.
Sebelumnya, dalam lokakarya “Penguatan Rantai Peringatan Dini Tsunami ke Infrastruktur Vital”, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta sudah melibatkan lembaganya dan desaiannya memperhitungkan risiko gempa bumi dan tsunami (Kompas, Kamis, 20/11/2019).
Namun demikian, ahli tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko meminta agar dilakukan kembali evaluasi keamanan bandara. Terutama terkait potensi likuefaksi yang juga tinggi karena kondisi tanah pasiran dan dangkalnya muka air tanah.
Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan peta kerentanan likuefaksi dan menempatkan tapak Bandara Internasional Yogyakarta ini dalam kategori zona likuefaksi tinggi.
Preseden buruk
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan, pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di zona rentan bencana tinggi ini merupakan preseden buruk bagi masyarakat. “Pembangunan bandara ini pasti akan diikuti dengan bangunan komersial lain dan hunian di sekitar pantai dengan mengabaikan risiko dan tata ruang,” kata dia.
Menurut Eko, selama ini pemerintah tidak memberi contoh baik kepada masyarakat untuk membangun dengan memperhatikan risiko. Contoh lain bangunan yang mengabaikan risiko bencana tsunami di selatan Jawa adalah Pangandaran Integrated Aquarium and Marine Research Institute, Politeknik Pangandaran, hingga pabrik ikan yang dibangun Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Padahal, dari serangkaian penelitian paleotsunami yang dilakukan Eko dan timnya, telah ditemukan bukti-bukti keberulangan tsunami rakasasa di selatan Jawa. Eko menemukan tujuh lapis endapan tsunami tua di rawa-rawa gambut di Ujunggenteng, Sukabumi. Sebelumnya, juga ditemukan endapan tsunami di Lebak, Banten, hingga Pacitan, Jawa Timur, dengan kesamaan umur 400 tahun lalu atau diduga pernah terjadi tsunami besar yang melanda pesisir selatan Banten sampai Pacitan.
Menurut Eko, belajar dari sejumlah kejadian sebelumnya, fasilitas vital dan bangunan publik seharusnya menjadi tempat paling aman saat bencana sehingga bisa dipakai untuk kedaruratan. “Sekolah, rumah sakit, bandara, pembangkit listrik, atau bahkan jalan raya harusnya dipilih dibangun di lokasi paling aman dan didesain paling kuat. Dalam kondisi darurat itu diperlukan,” kata dia
Eko menambahkan, jika infrastruktur vital dalam kondisi darurat mati, maka pengurangan risiko jadi naif dan semua unsur penyelamat kesulitan bergerak. “Ini misalnya terjadi di Palu yang tersendat penanganannya karena bandara sempat rusak. Bayangkan kalau kerusakannya lebih parah lagi,” kata dia.
Selain Bandara Yogyarakta, menurut catatan Kompas, setidaknya terdapat 16 bandara lain di Indonesia yang juga berada di zona rawan tsunami. “Fasilitas vital yang terlanjur dibangun di zona rawan harusnya dipetakan dan dievaluasi lagi. Apakah bisa dibiarkan atau diperkuat, atau bahkan dipindahkan. Ke depan, jangan lagi membangun dengan mengabaikan risiko,” kata Eko.
Oleh AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 22 November 2019