Pengembangan industri sagu alam di Papua menuntut dukungan riset aplikatif, mulai dari aspek agronomi hingga pengolahannya. Di lapangan ditemukan beragam varietas sagu dengan karakteristik berbeda, demikian halnya mengolah sagu alam butuh perlakukan tersendiri.
?“Sebagai industri perintis sagu alam di Indonesia, kami bekerja sambil belajar. Di lapangan dinamikanya sangat kompleks dan sebenarnya sangat butuh dukungan riset aplikatif untuk mendukung pengembangan industri pangan ini,” kata Kepala Regional PT ANJ Agri Papua (ANJAP) Christianus SA, Sorong Selatan, Rabu (5/9/2018).
Sebagai industri perintis sagu alam di Indonesia, kami bekerja sambil belajar. Di lapangan dinamikanya sangat kompleks dan sebenarnya sangat butuh dukungan riset aplikatif untuk mendukung pengembangan industri pangan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
?Menurut Christianus, riset akademik terkait sagu yang bisa diterapkan untuk industri sangat terbatas karena selama ini komoditas tersebut cenderung diabaikan dibandingkan tanaman pangan lain. Padahal, sagu alam yang dipanen bervariasi karakteristiknya.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Batang sagu satu tual (ukuran satu meter) yang siap diolah menjadi tepung di pabrik PT ANJAP di Distrik Metamane, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, Selasa (4/9/2018). Saat ini mereka baru memproduksi 1.000 tual per hari atau sekitar 10 ton sagu per hari dengan kapasitas pabrik 6.000 tual per hari.
?“Sebagian ada yang sangat keras dan tebal kulitnya, dimensinya juga berbeda, termasuk kandungan dan kualitas patinya. Di sini alat-alat produksi kami harus disesuaikan dengan sagu yang beragam. Ini berbeda misalnya dengan industri sagu di Riau yang dari hasil budi daya yang jenisnya sudah seragam,” kata dia.
?Dari segi produksi, perlu ada riset untuk meningkatkan rendemen sagu alam. Saat ini, menurut Christinaus, rata-rata tingkat rendemen sagu yang diolah perusahannya baru mencapai 9 persen. Padahal, untuk sagu budi daya bisa mencapai 15 persen.
?Tantangan lain adalah, tepung sagu alam di Papua memiliki karakter bisa berubah warna menjadi pink saat proses produksi. “Namun, untuk hal ini kami sudah ketemu caranya, yaitu pemrosesannya harus menggunakan air dengan kadar keasaman kurang dari tujuh. Hasilnya, pati sagu tetap putih sekalipun tanpa tambahan kimia,” kata dia.
?Saat dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Papua yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat, Charlie D Heatubun mengatakan, dari sistem klasifikasi ilmiah, jenis sagu yang diambil patinya di Papua hanya dari spesies Metroxylon sagu Roetb.
?“Masyarakat mengenal beragam jenis itu sebenarnya klasifikasi di bawah spesies atau bisa disebut sebagai varietas lokal. Memang ada beberapa varietas lokal, yang paling banyak di Sentani, Papua yang mencapai 40. Sementara di daerah lain, termasuk di Sorong Selatan antara 5 – 10 varitas lokal,” ucapnya.
?Charlie menambahkan, dari aspek agronomi, riset-riset tentang sagu sudah pernah dilakukan, namun saat ini terlupakan. “Industri sagu memang relatif baru-baru ini saja,” kata dia.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Pengolahan sagu alam di pabrik PT ANJAP di Distrik Metamani, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, Selasa (4/9/2018). Mereka bisa mengolah sekitar 1000 tual (1 meter batang sagu) per hari atau sekitar 10 ton per hari.
Aspek Sosial
?Secara sosial-ekonomi, industri sagu yang mulai dirintis di Sorong Selatan memberi harapan baru masyarakat sekitar. Sekretaris Kampung Saga, Kecamatan Metemani, Tomi Aitago mengatakan, saat ini sebagian warga desanya sudah bekerja di perusahaan. Di sisi lain, warga yang menjual tanaman sagunya juga bisa mendapatkan Rp 800 per tual (satu meter batang).
?“Harga satu tualnya memang masih rendah, karenanya kami harap bisa lebih baik, tetapi memang sudah ada perubahan. Kami sudah bisa biayai kuliah anak dan adik-adik ke kota,” kata dia.
?Penasihat Dewan Direksi PT Austtindo Nusantara Jaya–induk perusahaan ANJAP– Titayanto Pieter mengatakan, sebelumnya perusahaan membeli dari masyarakat Rp 5.000 per tual dengan catatan batang sagu yang sudah dipotong dibawa hingga ke kanal.
Namun sistem ini tidak berjalan karena tidak terpenuhinya target produksi lantaran kurangnya tenaga kerja masyarakat setempat. Akhirnya, perusahaan menawarkan mekanisasi dengan mengambil sendiri sagu di lahan masyarakat seharga Rp 800 per tual. “Kami membuka peluang negosiasi harga,” ucapnya.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 6 September 2018