Papua diketahui memiliki cadangan tanaman sagu terbesar di dunia, namun pemanfaatannya belum optimal. Industrialisasi sagu di Papua seharusnya bisa menjawab kebutuhan pangan, selain juga berpotensi mengembangkan ekonomi daerah yang ramah lingkungan.”Tahun 2005 harga beras meningkat karena El Nino, sejak saat itu kami mulai serius mencari alternatif karbohidrat selain beras. Kami melihat potensi besar sagu di Papua (sebagai sumber pangan), tetapi kenapa tidak ada pabrik sagu modern yang mengolahnya,” kata George S. Tahija, Komisaris PT PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ), perusahan sagu yang beroperasi di Papua Barat, dalam kungjungan ke redaksi Kompas, Senin (2/7/2018).
Tahun 2005 harga beras meningkat karena El Nino, sejak saat itu kami mulai serius mencari alternatif karbohidrat selain beras.
KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA–Warga menunjukkan cara menokok sagu dalam pembukaan Festival Sagu Papua di Kampung Kwadeware, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (21/6/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
?Selain untuk mengoptimalkan potensi pangan non-beras, menurut George, perusahaan sagu yang dibangunnya sejak 2007 ini diharapkan bisa mendukung pengembangan ekonomi di Papua yang ramah lingkungan. “Salah satu kelebihan sagu adalah ini tanaman asli di sana. Kita tidak mengubah ekosistem, beda kalau tanam padi dan sawit yang akan mengubah lingkungan,” kata dia.
?
Selain itu, pengembangan industri sagu juga bisa melibatkan masyarakat lokal. “Kalau yang dikembangkan industri sawit dan pertambangan, masyarakat Papua lebih banyak jadi penonton. Kala sagu mereka sudah tahu lebih banyak dibandingkan kita, sehingga bisa jadi mitra dan terlibat,” kata dia.?
?Namun upaya eksploitasi sagu di Papua yang dilakukan PT ANJ menghadapi banyak kendala, sehingga kesulitan memenuhi target produksi. Menurut Direktur Keuangan PT ANJ, Lucas Kurniawan, dari kapasitas produksi sebesar 1.250 ton per bulan, hingga kuartal pertama tahun 2018 baru bisa memproduksi sekitar 200 ton per bulan.
?Produksi masih sangat kecil dibandingkan luas konsesi sagu mereka di Papua Barat 40.000 hektar. “Kami menghadapi banyak kendala di lapangan, terutama masalah sosial berupa kompleksnya kepemilikan tanah ulayat. Kami harus memetakan kepemilikan ulayat bersama warga, ini memakan waktu lama. Tantangan lain ialah beratnya medan dan akses,” kata Lucas.
?Presiden Direktur PT ANJ Aloysius D Cruz menambahkan, kendala lain berupa pengolahannya, karena kulit pohon sagu di Papua, rata-rata lebih tebal dari daerah lain. Hal ini menyebabkan, peralatan dan mesin yang dipakai harus disesuaikan.
?Sejak tahun 2007 PT ANJ sudah berinvestasi lebih dari 70 juta dollar AS untuk pengembangan sagu di Papua Barat ini. “Kami masih optimis mengembangkan sagu Papua ke depan karena peluangnya amat besar, apalagi beberapa masalah mulai bisa diatasi. Ke depan, kami menyiapkan bahan bakar biomass dari limbah sagu untuk pengganti batu bara sehingga bisa lebih efisien,” kata Aloysius.
Kebutuhan Pangan
?Menurut Lucas, permintaan pasar global terhadap produk turunan pati hingga tahun 2024 mencapai 15,36 miliar dollar AS. Menurut dia, tepung sagu berpeluang besar karena tergolong pati yang sehat, selain bebas gluten juga memiliki indeks glikemik rendah dan antioksidan.
“Pati sagu juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai fungsi, bukan hanya papeda yang selama ini dikenal. Sagu juga bisa untuk pemanis, tekstil, pelekat kertas, hingga bahan baku kertas. Untuk pati sagu, permintaan global terutama dari Jepang,” kata dia.
?Lucas berharap, pemerintah bisa melihat potensi sagu dan turut mendorong pengembangannya. “Selain lebih menggalakkan kegiatan untuk mengangkat sagu, kami harap dukungan berbagai pihak untuk berkolaborasi riset tentang sagu,” kata dia.
?Data dari Mochammad Hasjim Bintoro, Guru Besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI), luasan sagu di Indonesia saat ini 5,2 juta ha, lebih dari 60 persen cadangan sagu global. Lahan sagu 4,7 juta ha terdapat di Papua dan 0,5 juta ha di Papua Barat. Sisanya di Maluku, Kepulauan Riau, dan Mentawai.
?Menurut Bintoro, sebagian besar tanaman sagu di Papua yang saat ini siap panen dibiarkan di alam sehingga terancam mati sia-sia. Jika dioptimalkan, sagu seharusnya bisa menjawab kebutuhan pangan di Papua, yang berulang kali mengalami kekurangan pangan dan gizi buruk.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 3 Juli 2018