Tanggal 12 Mei 2014, siang itu, markas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia di Jalan Tegalparang, Jakarta Selatan, disambangi Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Joko Widodo. Secara khusus, Jokowi, yang masih calon presiden, berbincang dan banyak mendengar perspektif Walhi atas persoalan-persoalan lingkungan termutakhir. Pertemuan berlangsung tertutup.
Seusai pertemuan, Direktur Eksekutif Walhi Abetnego Tarigan menyatakan, pihaknya meminta isu lingkungan hidup diperkuat jika Jokowi terpillih sebagai presiden. Bayangannya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) punya kewenangan kuat, sumber daya cukup, dan kemampuan mencegah kerusakan lingkungan, menegakkan hukum, dan memberdayakan masyarakat.
Hingga Oktober 2014, keyakinan aktivis bahwa isu lingkungan akan memperoleh perhatian lebih menjadi kuat. Jokowi, yang mengutus Wakil Ketua Tim Transisi Anies Baswedan pada Konferensi Nasional Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam yang diadakan Walhi, 14 Oktober 2014, menyatakan, berkomitmen memperkuat kelembagaan lingkungan hidup secara mendasar dalam pemerintahan yang akan datang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, kebijakan kini, setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden RI ke-7 dinilai mengejutkan. KLH akan dilebur dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Terlepas siapa yang akan memimpin kementerian itu, muncul pesimisme komitmen memperkuat lembaga kementerian lingkungan hidup.
Peleburan kedua kementerian itu dinilai tak mencerminkan penguatan isu lingkungan hidup. Justru tertangkap kesan mereduksi peran dan fungsi KLH hanya terkonsentrasi pada wilayah hutan.
Padahal, soal lingkungan hidup jauh lebih luas. Ada perencanaan tata ruang, kajian lingkungan hidup strategis, penerbitan izin lingkungan, pencemaran industri, perubahan iklim, hingga pangan transgenik. Itu belum semuanya.
”Dalam tataran institusional, KLH itu semangatnya konservasi, sedangkan kehutanan memberi kesempatan pemanfaatan kawasan hutan. Jelas bertabrakan pada tataran institusional dan fungsional jika disatukan,” kata Deni Bram, pengajar hukum lingkungan Universitas Tarumanagara, Jakarta, akhir pekan lalu.
Secara teknis dan penerapannya, penggabungan seluruh tugas dan fungsi Kemenhut ke dalam KLH dinilai sebagai kebijakan berisiko. Kementerian baru perlu waktu lama beradaptasi menata ulang, retrukturisasi organisasi, serta memadukan 17.000 karyawan Kemenhut dan 1.200 karyawan KLH.
Penataan ulang struktur 5 direktorat jenderal, 2 badan, 5 pusat, 5 biro di bawah sekretariat jenderal, dan 5 inspektorat di bawah inspektorat jenderal, serta 19 direktorat, 44 balai, dan ratusan UPT lainnya di Kemenhut dengan 7 kedeputian dan 6 pusat pengelolaan ekoregional di KLH jelas bukan pekerjaan mudah. Risikonya, kinerja kementerian akan lambat dengan postur sangat gemuk. Itu jauh berbeda dengan semboyan Jokowi, yakni bekerja, bekerja, dan bekerja.
Satu-satunya ”jejak” mengapa dua kementerian itu dilebur mungkin terendus dari fokus Jokowi saat pertemuan kala itu. Persoalan konflik lahan hutan (tenurial) menjadi topik yang ia sorot. ”Konflik yang terkait sumber daya alam dan agraria ini banyak sekali dan harus diselesaikan,” katanya ketika itu (Kompas, 13/5). (ICH)
Oleh: ich
Sumber: Kompas, 26 Oktober 2014