Perkuat Kementerian LH
Pergantian pemerintahan saat ini sangat menentukan, termasuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Salah satu ukuran keberhasilannya adalah penerapan pembangunan berkelanjutan dengan meminimalkan ongkos lingkungan yang ditunjukkan dengan efisiensi penggunaan sumber daya alam.
Pemerintahan di bawah presiden terpilih Joko ”Jokowi” Widodo secara khusus diingatkan agar serius dan konsisten menjalankan prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut. ”Selama ini, keberhasilan pembangunan selalu dinilai dari berapa persen pertumbuhan, tidak memasukkan ongkos lingkungan,” kata akademisi, aktivis konservasi sumber daya alam, peneliti pada Departemen Biologi Universitas Indonesia yang juga Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim UI Jatna Supriatna, di Jakarta, Kamis (4/9).
Dalam pembangunan berkelanjutan, kata dia, tujuan pembangunan bukan semata ekonomi, melainkan juga turut mempertahankan daya dukung lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanpa itu, keberhasilan pembangunan sebenarnya adalah semu. Hanya sementara karena mengambil hak masa depan generasi berikutnya.
Dodo Sambodo, Asisten Deputi Kementerian Lingkungan Hidup (LH) Bidang Pengaduan dan Pelaksanaan Sanksi Administrasi, mengatakan, persoalan lingkungan hidup belum jadi prioritas pembangunan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi beberapa kebijakan global, kebijakan sektor lain sering menabrak lingkungan tanpa kajian mendalam.
Ironisnya, aktivitas itu terus berjalan dan berdampak merusak lingkungan hidup sehingga rakyat menjadi korban.
Soal kebijakan
Sebelumnya, wakil presiden terpilih Jusuf Kalla mengatakan, pembangunan berkelanjutan tergantung kebijakan umum. Satu kebijakan diperbaiki, maka memengaruhi keberlanjutan.
Ia mencontohkan kebijakan penerapan bauran energi nasional. Persoalan energi vital karena terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi. ”Angka kemiskinan dan pengangguran stagnan karena pertumbuhan ekonomi tak sampai 7 persen,” kata dia.
Untuk itu, kata Kalla, tahun pertama pemerintahan baru nanti akan ditargetkan pembangunan pembangkit listrik 25.000 megawatt. Target 10.000 MW yang pernah dicanangkan saat ia masih wakil presiden di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahap pertama sudah tidak mencukupi.
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, jika pertumbuhan ekonomi ditargetkan 7 persen dan rasio elektrifikasi naik dari 80 persen menjadi 100 persen, maka harus ditopang pertumbuhan pasokan listrik 9 persen-10 persen per tahunnya.
Persoalannya, sumber energi pembangkit jenis apa yang hendak digunakan. Penggunaan batubara yang lambat laun merusak daya dukung lingkungan, sebagaimana banyak disorot aktivis lingkungan, perlu dikurangi.
Kelembagaan lingkungan
Belajar dari pemerintahan saat ini, ketika kementerian lingkungan sebatas pelengkap, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan mengatakan, Kementerian LH hendaknya jadi kementerian koordinator ”membawahkan” Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pertanian. ”Selama ini, kementerian-kementerian itu di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian sehingga titik beratnya kepentingan ekonomi dan aspek lingkungan ditiadakan,” ujarnya.
Menanggapi isu penghapusan Kementerian LH menyusul rencana perampingan kabinet, mantan Menteri LH Rachmat Witoelar mengatakan, ”Itu sama dengan bunuh diri nasional.” Adapun mantan Menteri LH sebelumnya, Nabiel Makarim, mendorong KLH diberi tambahan wewenang pengawasan/perlindungan hutan konservasi yang dipegang Kemhut. Termasuk di dalamnya soal tata ruang. (ISW/MH/ICH/DMU)
Sumber: Kompas, 5 September 2014