Mikroorganisme akan terus mengolonisasi dan mengubah wajah Bumi, jauh setelah kita dan para penghuni lain meninggalkan gelanggang untuk selamanya. Mikroba, bukan makroba, yang akan menguasai dunia. –Bernard Dixon dalam bukunya, ”Power Unseen: How Microbes Rule the World” (1994)
Mikroba, makhluk kecil yang tidak kelihatan –termasuk di dalamnya virus, bakteri jamur, dan protozoa–jelas berperan dalam setiap aspek kehidupan. Mikroba menyediakan seluruh kebutuhan manusia: makanan, bahan bakar minyak, dan obat. Namun, di sisi lain, mikroba bisa memicu wabah dan menjadi sumber bencana kemanusiaan.
Sejarah mencatat, dunia pernah mengalami pandemi luar biasa. Pandemi –penyakit yang berjangkit serentak di beberapa negara, benua, bahkan seluruh dunia– diketahui pernah melanda Kekaisaran Romawi tahun 165-180. Disebut Antonino Plague, sesuai nama kaisar yang berkuasa saat itu, Marcus Aurelius Antoninus, penyakit yang diduga cacar itu menewaskan 5 juta jiwa (Culture of Health 2013).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Abad pertengahan (1347-1351), Eropa dilanda ”Black Death” atau Kematian Hitam. Sekarang dikenal sebagai pes dengan inang binatang pengerat, seperti tikus, pandemi itu diperkirakan telah menyebabkan kematian hingga dua pertiga penduduk Eropa. Meski Kematian Hitam identik dengan pandemi Eropa, sebenarnya pes juga melanda sebagian besar Asia dan Timur Tengah.
Total yang tewas diperkirakan 75 juta jiwa. Pandemi era modern ialah human immunodeficiency virus dan acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS). Pertama di kenali sebagai penyakit pada 1981, Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (CDC) memperkirakan, sampai pertengahan 2015, sekitar 36,9 juta orang di dunia terinfeksi HIV dan baru 15,8 juta yang mendapat antiretroviral therapy (ART). Sampai akhir 2014, diperkirakan 1,2 juta orang meninggal karena HIV/AIDS.
Mikroba ada di balik semua pandemi itu. Mikroba merebak karena berbagai faktor: dari pengelolaan sanitasi yang buruk, perubahan habitat, hingga pergerakan dan perilaku manusia. Cacar di Kekaisaran Romawi, misalnya, berawal di kawasan Mesopotamia dan menyebar ke Roma bersama para prajurit yang pulang perang. Kematian hitam muncul karena sanitasi buruk, sedangkan HIV/AIDS karena perilaku berisiko tinggi.
Perkembangan ilmu pengetahuan membuat manusia belajar mengantisipasi wabah dan epidemi agar tak meluas jadi pandemi. Ketika ebola merebak pada 2014, CDC langsung siaga satu. Kejadiannya memang di pelosok Afrika, tetapi kemajuan transportasi dan kian banyaknya manusia berlalu lalang membuat wabah tak terkontrol –betapa pun jauhnya tempat kejadian– dan berpotensi mengancam kehidupan seluruh dunia.
Kerja sama setidaknya telah meredam penularan flu burung ataupun Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS). ”Kehidupan kita saling berhubungan dengan udara yang sama, makanan, dan teknologi penerbangan yang dapat mengangkut penyakit dari suatu tempat ke tempat lain. Setiap hari,” kata Direktur CDC Dr Tom Frieden (Time, 25/8).
Namun, pergerakan virus ternyata tetap tak terduga. Meski dunia sudah berupaya mencegah virus zika yang berawal di Brasil itu merebak, zika belakangan justru ditemukan di Asia Tenggara. Filipina, Singapura, dan Indonesia telah melaporkan kehadiran virus zika. Singapura terbanyak dengan 242 kasus.
Infeksi zika yang ditularkan lewat nyamuk Aedes aegypti ini mirip dengan chikungunya: demam, nyeri sendi dan otot, sakit kepala, ruam merah di kulit, serta mata merah. Namun, zika menjadi berbahaya jika menginfeksi perempuan hamil karena terkait dengan kelahiran bayi berkepala kecil yang menghambat perkembangan otak.
Oleh karena itu, kehadirannya tetap harus diwaspadai. Selain menghindari gigitan nyamuk pada siang hari –karena itu saat nyamuk Aedes aktif– upaya menguras, menutup, dan mengubur barang-barang yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk (3M) perlu terus dilakukan. Peringatan pemerintah untuk tidak berkunjung ke negara terjangkit juga perlu dipertimbangkan.
Apakah dengan semua ini manusia bisa tenang? Belum tentu. Menurut Bernard Dixon, mikroba masih menyimpan banyak kejutan dan akan terus mengancam kita. Pertarungan melawan mikroba sungguh masih panjang.
Oleh AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas 7 September 2016