Nilai Kejujuran Ditabrak

- Editor

Senin, 9 Oktober 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kurang, Penghargaan pada Sebuah Proses
Di tengah era digitalisasi, godaan dan ambisi tampil di ruang publik secara instan benar-benar menghancurkan nilai-nilai kejujuran, ketulusan, dan ketekunan dalam berproses. Prinsip bahwa sebuah pencapaian harus diawali dari bawah secara bertahap justru ditabrak dan dilanggar.

Fenomena ini tampak dalam kasus ijazah palsu, pembuatan karya tulis yang tidak melalui proses-proses akademik yang benar, dan terakhir yang mengemuka adalah kasus DH, mahasiswa Program S-2 di Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda, dalam sejumlah wawancara di media massa. Dalam surat klarifikasi dan permohonan maaf DH tertanggal 7 Oktober 2017, terpapar begitu banyak ketidakkonsistenan antara pernyataan DH di media dan kenyataan hidup sehari-hari DH.

Dalam sebuah wawancara televisi, DH antara lain mengaku sedang menjalani post-doctoral sekaligus menjadi asisten profesor TU Delft. Faktanya, dia adalah mahasiswa doktoral dan bukan asisten profesor TU Delft. DH juga mengaku tengah mendalami penelitian satellite technology and rocket development, padahal topik penelitian doktoralnya yang sebenarnya adalah bidang intelligent systems, khususnya virtual reality.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Budayawan Mudji Sutrisno melihat fenomena ini dipicu iklan dan hasrat untuk tampil di “panggung”. Dengan cara mempromosikan diri melalui media, termasuk media sosial, orang ingin dianggap luar biasa dengan cara berbohong dan menjadi aktor. “Banyak orang ingin menjadi aktor di tengah kondisi di mana dunia digital telah menjadi satu dengan realitas. Kebohongan yang terus-menerus dipacu dan ditancapkan dengan media dan media sosial sampai bawah sadar akhirnya dipercaya sebagai sebuah kebenaran,” katanya, Minggu (8/10) di Jakarta.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Iklan jasa pembuatan tugas akhir skripsi dan tesis menempel di tiang reklame di Perempatan Sagan, Yogyakarta, Sabtu (7/10). Iklan sejenis ini mudah ditemukan di beberapa tempat di kota tersebut dengan sasaran konsumen mahasiswa.

Dalam “panggung” kebohongan, persepsi direproduksi. Bahkan, orang akhirnya menganggap persepsi sama dengan penghargaan terhadap pencapaian dia.

“Ini mengerikan karena persepsi semestinya adalah pesan yang perlu dicek dengan obyektif, tetapi di sini justru ditonjolkan dengan ucapan lidah yang baik- baik, seperti halnya para politisi jahat yang bermanis-manis di panggung televisi tetapi di bawah meja mereka menghabiskan uang rakyat,” katanya.

Nilai proses
Kondisi penuh kepalsuan, kata Mudji, terjadi karena penghayatan dan penghargaan orang terhadap nilai sebuah proses tidak lagi tertanam di benak masyarakat. Banyak orang akhirnya tidak mau melihat dan menghayati hidup sebagai sebuah proses.

“Pendidikan dasar kita harus kembali menanamkan bagaimana perlunya bersikap jujur, memberikan keteladanan dan integritas. Anak-anak kita mesti dilatih untuk mau mengakui kesalahan di tengah hilangnya kultur budaya malu,” ujar Mudji.

Menanggapi fenomena pelanggaran etika akademik tersebut, dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, B Herry Priyono, mengatakan, mereka yang melakukan hal tersebut hanya berlagak logis, tetapi tidak berpikir. “Menjadi logis dan menjadi ilmiah untuk mendapatkan gelar, itu hanya sebagian kecil dari keutamaan yang namanya berpikir,” ujar Herry.

Dia menjelaskan, keutamaan berpikir memiliki empat unsur, yaitu logis, memiliki goodwill (kehendak baik), melakukan keutamaan berpikir dalam rangka demi kebaikan bersama (common good), dan integritas. “Dalam rangka berpikir, orang membutuhkan integritas. Yang terjadi saat ini hanya terdengar logis dan ilmiah. Belum tentu yang ilmiah dan sungguh logis itu merupakan keutamaan berpikir,” katanya.

Secara terpisah, praktisi pendidikan Edy Suandi Hamid mengatakan, kejujuran menjadi tantangan besar bangsa dan bukan hanya dunia akademik.(abk/eln/isw)

Sumber: Kompas, 9 Oktober 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB